Oleh: Mikhael Jeicx Palapessy (Ketua Umum IKPMHT Yogyakarta)
Kendali -Pernyataan bahwa “Pertambangan sebagai jalan menuju kehancuran Halmahera Timur” bukanlah sebuah hiperbola. Ungkapan ini memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa ambisi yang berlebihan, jika tidak diiringi dengan tindakan bijaksana, justru akan menjadi jalan menuju kehancuran yang sistematis dan berkepanjangan.
Halmahera Timur dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam (SDA). Kekayaan ini adalah anugerah dari Tuhan yang semestinya dikelola dengan penuh kebijaksanaan dan nilai-nilai kemanusiaan untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, kenyataan yang terjadi justru bertolak belakang. Kehadiran perusahaan-perusahaan tambang di Halmahera Timur tidak membawa kesejahteraan yang dijanjikan. Sebaliknya, masyarakat dihadapkan pada polemik berkepanjangan, mulai dari kerusakan lingkungan, pencemaran alam, hingga pengabaian terhadap adat istiadat yang hidup dan diwariskan turun-temurun.
Salah satu contoh nyata adalah kehadiran perusahaan tambang PT. Sambaki Tambang Sentosa (STS) yang memasuki wilayah adat Qimalaha Wayamli, Kecamatan Maba Tengah, Halmahera Timur. Perusahaan ini melakukan pembongkaran lahan tanpa komunikasi publik dan tanpa pelibatan otoritas adat. Tindakan sepihak ini merupakan bentuk perampasan tanah adat yang sangat tidak menghormati eksistensi dan hak masyarakat hukum adat.
Sejak tahun 1997 hingga 2024, wilayah Maba Tengah tidak pernah dimasuki oleh perusahaan tambang mana pun. Dengan kata lain, PT. STS telah melakukan pelanggaran serius terhadap hak-hak masyarakat adat Qimalaha. Ironisnya, perusahaan ini tidak memberikan jaminan atas kesejahteraan masyarakat, baik dari segi ekonomi maupun pembangunan infrastruktur.
Tanah adat bagi masyarakat Qimalaha bukan hanya sekadar lahan fisik. Tanah itu adalah sumber kehidupan, tempat tinggal, ruang spiritual, dan identitas budaya. Dalam konteks hukum, pengakuan atas tanah adat tercantum jelas dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2), yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Selain itu, Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) juga menjamin kepastian hukum atas hak ulayat.
Adapun konsekuensi hukum bagi aktivitas pertambangan tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) adalah:
- Kegiatan pertambangan dinyatakan ilegal.
- Dapat dikenai sanksi administratif seperti pencabutan izin, denda, atau penghentian kegiatan.
- Dapat dikenai pidana kehutanan sesuai UU No. 41 Tahun 1999.
- Dapat dilaporkan ke GAKKUM (Penegakan Hukum KLHK).
- Dapat diproses oleh PPNS Kehutanan atau Kepolisian.
Negara semestinya menghormati nilai-nilai luhur yang telah ada jauh sebelum berdirinya republik ini, salah satunya adalah tanah adat. Tanah adalah kekuatan dan fondasi kehidupan masyarakat adat yang tidak bisa begitu saja diabaikan. Oleh karena itu, PT. STS harus bertanggung jawab penuh atas segala bentuk pelanggaran dan kerusakan yang telah ditimbulkan.
Masyarakat Wayamli telah menunjukkan perlawanan terhadap kehadiran PT. STS sebagai bentuk perjuangan atas hak-hak mereka. Jika tindakan masyarakat dianggap anarkis, maka hal itu adalah reaksi wajar terhadap kebiadaban dan arogansi korporasi yang menginjak-injak martabat mereka. Bagaimana mungkin masyarakat dapat menghormati pihak yang sejak awal tidak menunjukkan sikap hormat terhadap tuan tanah?
Perlawanan masyarakat Kecamatan Maba Tengah bukanlah bentuk arogansi, melainkan ekspresi kemarahan kolektif. Dalam perjuangan mempertahankan tanah leluhur, darah dan nyawa menjadi taruhan. Ketika bara perlawanan telah menyala di tanah adat, maka tidak ada yang bisa menghentikan gelombang perlawanan itu.
Berdasarkan situasi dan tindakan tidak manusiawi yang dilakukan oleh PT. STS, maka kami, Ikatan Komunikasi Pelajar Mahasiswa Halmahera Timur Yogyakarta, menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mendesak Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur untuk melindungi hak-hak masyarakat adat Qimalaha Wayamli, Kecamatan Maba Tengah.
- Mendesak Pemerintah Daerah, Provinsi, dan Pusat untuk segera menghentikan dan mencabut izin penambangan PT. STS di wilayah adat Qimalaha Wayamli.
- Mendesak PT. STS untuk membayar ganti rugi atas kerusakan hutan dan lingkungan akibat aktivitas tambangnya.
- Mendesak pemerintah desa untuk tidak terlibat dalam urusan pertambangan dan tetap berdiri bersama masyarakat adat.
Pertambangan bukan solusi untuk kesejahteraan jika mengorbankan tanah, budaya, dan martabat masyarakat. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk membela tanah, bukan menyerah pada kapital.