Saloi

Bela 72 — Kado HUT MALUT ke-26

13
×

Bela 72 — Kado HUT MALUT ke-26

Sebarkan artikel ini
Teguh Barakati Penyair

Oleh: Teguh Tidore | Penyair & Penulis

Satu tahun setelah tragedi meledaknya speedboat Bela 72, luka itu masih membekas. Namun dari peristiwa duka itu pula, Maluku Utara menemukan arah baru di bawah kepemimpinan Gubernur Sherly — sebuah perjalanan dari kehilangan menuju pembangunan.

Tragedi di Pelabuhan Bobong

Siang itu, suara ledakan memecah langit Bobong. Suaranya tidak biasa—nyaring, panjang, menggema di seluruh penjuru desa. Kabupaten Taliabu yang biasanya tenang mendadak berubah menjadi kepanikan massal. Orang-orang berlari menuju pelabuhan.

Saya masih duduk di sebuah pendopo kecil, sekitar empat kilometer dari lokasi kejadian. Dari kejauhan, asap hitam membumbung tinggi. Api menjilat cepat badan kapal yang terbakar. Di antara kepulan asap, tulisan “Bela 72” tampak jelas.

Speedboat itu tidak asing bagi saya. Bela 72 baru saja beroperasi, dan rute Sanana–Taliabu menjadi perjalanannya yang terakhir.

Dalam waktu singkat, api melahap seluruh kapal. Saya bertanya dalam hati: apakah ada yang saya kenal di sana?

Tak jauh dari pelabuhan, warga berkerumun. Seorang perempuan diselamatkan—Ibu Sherly, diangkat bersama warga dan diletakkan di atas mobil pick-up. Saya segera berlari mendekat.

Suara jeritannya menggema, memohon pertolongan. Saya meminta agar mobil tidak langsung ke rumah sakit karena jaraknya terlalu jauh. Kami berputar arah menuju Puskesmas Bobong.

Sepanjang perjalanan, Ibu Sherly terus mengaduh, “Tolong…ini sangat sakit…”

Taliabu seketika mencekam. Orang-orang panik. Satu per satu korban diangkat dari lokasi kejadian.

Di Puskesmas, luka bakar di kaki membuat Ibu Sherly terus memanggil nama suaminya, Benny Laos.

Setengah jam kemudian, saya, Ibu Sherly bersama asistennya menuju rumah sakit Bobong untuk mencari kabar.

Menjelang magrib, rumah sakit itu senyap. Dan di dalam kesunyian itu, Benny Laos berpulang.

Peristiwa itu terjadi pada 12 Oktober 2024—hari yang tidak akan pernah saya lupakan.

Ketika Algoritma Menghidupkan Ingatan

Tulisan ini bukan metafora. Ini adalah kenyataan yang saya saksikan langsung.

Saya menulis ulang kisah ini karena algoritma Instagram seolah tak berhenti mengingatkan saya. Notifikasi dari akun @sherlysarbinofficial terus muncul—sebuah kolaborasi yang membuat memori itu hadir berulang-ulang.

Dari situ saya menyadari satu hal: algoritma adalah mesin pengingat baru bagi manusia.

Ia menyimpan kenangan, menampilkan kembali duka, dan menembus ruang waktu.

Media sosial kini menjadi nabi baru yang merumuskan percakapan teknologi.

Dari Luka Menuju Kepemimpinan

Tragedi yang dialami Ibu Sherly bukan sekadar musibah. Ia menjadi titik balik yang kemudian menuntunnya pada perjalanan baru: menjadi Gubernur Maluku Utara, perempuan pertama yang memimpin provinsi ini.

Dalam setiap penampilannya, algoritma dunia maya seolah paham siapa dirinya. FYP demi FYP menampilkan wajah dan langkah politiknya—membentuk narasi seorang pemimpin yang lahir dari kehilangan.

Dalam pidato pertamanya, Gubernur Sherly menegaskan bahwa pemerintahannya akan berlandaskan teknokrasi: semua keputusan harus dikembalikan kepada ahlinya.

Sebuah sikap rasional yang lahir dari pengalaman hidup yang tak rasional—kehilangan mendadak atas suaminya.

Di Balik Angka 12

Pada penutupan HUT Provinsi Maluku Utara ke-26, malam itu Ibu Sherly tampil anggun dengan kebaya hijau. Di atas panggung, ia menyebut angka 12—tanggal tragedi itu—sebagai simbol antara kehilangan dan membangun.

Saya duduk di bawah panggung, mendengarkan. Kisahnya terasa personal, namun juga menjadi narasi publik. Angka 12 kini seperti doa yang terus hidup: antara kehilangan suami dan tekad membangun negeri.

Jejak Bela 72

Peristiwa Bela 72 menjadi saksi perjalanan politik dan kemanusiaan Maluku Utara.

Dari puing kapal di tanah Hemungsia-sia Dufu, Taliabu, lahir refleksi tentang bagaimana takdir dan kebijakan saling bertemu.

Politik mengajarkan satu hal: takdir bisa pergi, tapi kebijakan akan tetap hidup. Bela 72 mungkin telah tenggelam, tapi dari tragedi itu, muncul seorang pemimpin yang kini menuliskan bab baru bagi Maluku Utara.

Setahun berlalu. Gubernur Sherly menatap perjalanannya sendiri—antara pribadi dan negeri ini, antara kehilangan dan harapan.

Maluku Utara kini tumbuh, bukan lagi di atas duka, melainkan di atas jejak masa depan. Semoga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *