News

Demi Masa Depan Kampung, Warga Bobo Melawan Ekspansi Nikel Harita Group

32
×

Demi Masa Depan Kampung, Warga Bobo Melawan Ekspansi Nikel Harita Group

Sebarkan artikel ini
Warga Desa Bobo, Kecamatan Pulau Obi, Halmahera Selatan, membentangkan poster penolakan saat sosialisasi perusahaan tambang nikel PT Karya Tambang Sentosa (afiliasi Harita Group). Mereka menegaskan sikap tegas untuk menolak kehadiran perusahaan tambang di kampung mereka, Kamis (14/8/2025).

Kendali— Penolakan terhadap ekspansi tambang nikel kembali bergema dari Pulau Obi. Pada Kamis (14/8/2025), puluhan warga Desa Bobo yang tergabung dalam Gerakan #SaveBobo berkumpul di Balai Desa Bobo untuk memprotes acara sosialisasi PT Karya Tambang Sentosa (KTS)—perusahaan yang disebut-sebut berafiliasi dengan raksasa nikel Harita Group.

Sejak pagi, warga—sebagian besar perempuan dan pemuda—hadir dengan membawa umbul-umbul buatan tangan mereka sendiri. Slogan-slogan itu terbentang sebagai suara hati: “Kami Menolak Perusahaan Masuk di Desa Bobo”, “Hutan adalah Rumah Kami”, hingga “Save Bobo: Tolak PT IMS”.

Mereka menegaskan, kehadiran di ruang sosialisasi bukan untuk mendengar janji manis perusahaan, melainkan untuk menyuarakan penolakan total terhadap rencana tambang yang mengancam tanah, laut, dan masa depan generasi mereka.

“Warga Bobo punya alasan kuat. Kami belajar dari desa-desa tetangga yang sudah menjadi korban tambang. Tidak ada jaminan perusahaan akan menepati janji, apalagi jika manajemen berganti 5, 10, atau 20 tahun ke depan. Justru yang ada, komunikasi dengan warga akan semakin ditutup rapat,” kata Pdt. Mersye Pattipuluhu, Pendeta Gereja Protestan Maluku di Desa Bobo.

Keraguan warga bukan tanpa dasar. Tambang nikel hampir selalu meninggalkan jejak luka: hutan dibabat, sungai dan laut tercemar, kebun rakyat hilang, pesisir rusak, dan penyakit baru bermunculan. “Tanah, air, udara, dan masa depan generasi kami tidak bisa ditukar dengan uang atau iming-iming kesejahteraan semu,” lanjutnya.

Kekhawatiran serupa ditegaskan Pdt. Esrom Lakoruhut, Ketua Klasis Pulau-Pulau Obi. Ia menyebut Kawasi sebagai contoh nyata: hutan gundul, pesisir tercemar, kebun dan mata air hancur, penyakit merebak, hingga kriminalisasi warga meningkat. “Kawasi adalah bukti bagaimana tambang meluluhlantakkan ekologi dan kehidupan sosial. Itu peringatan keras bagi Bobo agar tidak menjadi korban berikutnya,” ujarnya.

Gerakan #SaveBobo menolak segala bentuk negosiasi. Penolakan itu bukan sekadar sikap emosional, tetapi berakar pada hak dasar konstitusional untuk hidup layak di lingkungan yang sehat. “Izin administrasi perusahaan hanyalah formalitas. Ia tidak menjamin perlindungan warga. Karena itu penolakan kami bulat, total, dan tidak bisa dinegosiasikan,” tegas Vecky Kumaniren, Ketua Gerakan #SaveBobo.

Lebih jauh, investigasi Koalisi Save Bobo menemukan keterhubungan PT KTS dengan jaringan korporasi tambang besar di Obi. PT Intim Mining Sentosa (IMS) tercatat menguasai 49% saham, PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NKCL) 36%, dan PT Banyu Bumi Makmur 15%. Keseluruhan jejaring ini merujuk pada konglomerasi Harita Nickel yang sudah lama bercokol di Pulau Obi.

Sosialisasi sendiri dihadiri oleh jajaran perusahaan: Sandes Tambun (Dirut), Arnoldus Wea (Manager Eksternal), Jefri Siahaan (direksi pemegang saham), dan Faisal (Kepala Teknik Tambang). Dari unsur pemerintah, hadir Kepala Desa Bobo Zeth Jems Totononu, Ketua BPD Bobo Nandis Kurama, serta Kepala Disnakertrans Halmahera Selatan Noce Totononu.

Namun di hadapan itu semua, suara warga tetap bulat: tolak tambang, selamatkan Bobo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *