Kendali- Aliansi Masyarakat Kawata Tolak Tambang (AMKTT) menyatakan sikap kritis terhadap proses revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kepulauan Sula. Mereka mendesak agar revisi ini tidak menjadi instrumen legalisasi kepentingan korporasi tambang, tetapi tetap berada dalam koridor perlindungan ruang hidup masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Ketua AMKTT Zulvikar Makian, menegaskan bahwa pihaknya memahami proses revisi RTRW memiliki tahapan teknokratik yang diatur dalam regulasi, mulai dari penyusunan substansi, kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), hingga konsultasi publik dan pembahasan di DPRD. Namun menurutnya, pemahaman prosedural tidak cukup jika isi dokumen mengarah pada kepentingan ekstraktif.
“Jangan jadikan RTRW ini sebagai alat pengukuhan kepentingan korporasi. Tata ruang harus jadi tameng bagi desa-desa pesisir dan wilayah adat dari ekspansi tambang,” ujarnya.
AMKTT peringati jangan terindikasi perubahan zonasi yang membuka ruang bagi eksploitasi sumber daya di sekitar Kawata dan desa lainnya. Bagi mereka, perubahan fungsi ruang dari kawasan lindung menjadi kawasan pertambangan adalah bentuk pengabaian terhadap risiko ekologis, konflik sosial, dan hilangnya ruang hidup masyarakat.
Zulvikar juga mendorong ada pelibatan aktif masyarakat desa dalam proses revisi. Menurutnya, konsultasi publik tidak boleh sekadar formalitas, tetapi harus menjadi ruang riil bagi masyarakat untuk menyampaikan keberatan dan usulan terhadap draft RTRW yang akan disahkan.
“Kami tidak anti pada proses revisi. Tapi kami menolak jika dokumennya disusun dalam diam, lalu disahkan untuk memberi karpet merah pada investasi yang merusak,” tegasnya.
AMKTT mendesak pemerintah daerah dan DPRD membuka seluruh dokumen draf, termasuk zonasi baru yang sedang dikaji, agar publik dapat menilai secara transparan. Mereka juga mendorong adanya forum dialog terbuka sebelum tahapan pembahasan lanjut di DPRD.
Sebagai masyarakat yang selama ini menjaga kawasan pesisir dan hutan secara turun-temurun, AMKTT menilai mereka bukan objek pembangunan, melainkan subjek yang berhak menentukan masa depan wilayahnya. “Kalau RTRW mengatur ruang, maka rakyat berhak bicara tentang isi ruang itu,” Ungkapnya.
AMKTT memastikan akan terus mengawal proses ini, dan jika arah revisi terbukti berpihak pada tambang, mereka tidak akan diam. “Kami siap berdialog, tapi juga siap bertahan,” pungkasnya.