Kendali – Kabupaten Kepulauan Sula resmi kembali ditetapkan sebagai daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) tahun ini. Ironisnya, status ini diumumkan di tengah rentetan krisis serius: banjir serentak disejumlah Desa salah satu diantaranya ialah Desa Mangon pada Kamis (6/4/2025), serta aksi mogok 33 dokter di Puskesmas dan RSUD Sanana akibat insentif yang belum dibayarkan selama lima bulan terakhir.
Banjir dan Infrastruktur Renta
Banjir besar dipicu oleh curah hujan tinggi yang menyebabkan tanggul jebol, merendam puluhan rumah dan memutus akses jalan. BPBD Kepulauan Sula telah menerjunkan tim ke lokasi terdampak. Namun, banjir ini bukan pertama kali terjadi—ia datang hampir setiap tahun, seolah menjadi siklus yang tak pernah terselesaikan.
Peristiwa ini menelanjangi rapuhnya sistem infrastruktur dan lemahnya kapasitas mitigasi bencana di daerah. Banyak pihak menilai ini bukan hanya bencana alam, melainkan juga bencana tata kelola. Banjir tahunan tersebut seharusnya menjadi alarm serius bagi Pemda untuk mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan membuka akses publik terhadap peta risiko kebencanaan yang tersedia di portal inarisk.bnpb.go.id. Dengan analisis spasial yang akurat, kebijakan mitigasi seharusnya bisa dirancang lebih proaktif dan berkelanjutan.
Dokter Mogok, Layanan Kesehatan Terancam Kolaps
Di sisi lain, sektor kesehatan juga terguncang. Sebanyak 33 dokter memilih mogok kerja mulai 4 Juli 2025 karena insentif selama lima bulan belum dibayarkan. Hingga awal Juli, Pemda Kepulauan Sula baru mencairkan dua bulan insentif, itu pun dengan potongan berbasis sistem e-Kinerja, tanpa kejelasan kelanjutan.
Ketua IDI Sula, dr. Ivan Sangadji, menegaskan bahwa Ikatan Dokter Indonesia tetap mendampingi aksi para dokter. “Sebentar malam dijadwalkan pertemuan dengan Pemda di Istana Daerah,” katanya kepada media. Advokat Hasrul Buamona menyatakan aksi ini sah secara hukum dan para dokter berhak membawa kasus ini ke ranah perdata jika penyelesaian tak tercapai. Sementara itu, dugaan penggelapan dana insentif turut mencuat, memperparah krisis kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan daerah.
Satu Tubuh, Banyak Luka
Tiga peristiwa besar—penetapan daerah 3T, banjir yang merusak, dan mogok dokter—membentuk pola krisis sistemik yang saling menguatkan: ketimpangan dalam infrastruktur, lemahnya layanan dasar, dan buruknya tata kelola anggaran. Di tengah gelombang krisis ini, masyarakat Kepulauan Sula kembali dituntut bertahan dengan sumber daya yang serba terbatas.
Sula bukan hanya jauh dari pusat, tapi juga dijauhkan dari keadilan sosial dan layanan dasar yang layak. Predikat 3T bukan sekadar status administratif, melainkan simbol luka kolektif yang terus berdarah. Saatnya pemerintah tidak lagi sekadar menggelar rapat dan membuat janji, tapi hadir nyata di tengah warga—dengan kebijakan berbasis data, kepemimpinan empatik, dan komitmen pada pemulihan yang menyentuh akar persoalan.