News

Mahasiswa Jogja Gelar Refleksi HUT Sula: Memajukan Sula Melalui Pelayanan Publik dan Pengelolaan SDA Berbasis Data, Bukan Perayaan Tanpa Makna

306
×

Mahasiswa Jogja Gelar Refleksi HUT Sula: Memajukan Sula Melalui Pelayanan Publik dan Pengelolaan SDA Berbasis Data, Bukan Perayaan Tanpa Makna

Sebarkan artikel ini
Komunitas literasi Blibliopilia club menggelar refleksi HUT Sula, diskusi berlangsung di Asrama Mahasiswa Sula Yogyakarta.

Kendali — Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-22 Kabupaten Kepulauan Sula, Komunitas Literasi Bibliopilia menggelar diskusi publik bertajuk “22 Tahun Pemekaran: Kenapa Kita Masih Tertinggal?”. Acara ini menjadi ruang refleksi tajam atas perjalanan panjang pemekaran yang belum mencapai tujuan utama: kesejahteraan rakyat.

Diskusi yang menghadirkan Muhammad Idra Faudu, S.TP., dan Iffatullah Gailea, S.H., serta dimoderatori oleh Ketua Formasy, Munajir Naipon, menyampaikan kritik mendalam terhadap stagnasi pembangunan dan lemahnya pelayanan publik di Kepulauan Sula.

Idra Faudu menyentil ironi kebijakan pemerintah daerah yang lebih sibuk mengatur acara seremonial ketimbang memberikan solusi nyata kepada masyarakat. Contoh nyata adalah agenda pemecahan Rekor MURI makan cokelat terbanyak, tanpa diiringi kebijakan penguatan petani kakao.

“Apa gunanya rekor MURI jika petani kakao kita masih dibiarkan tanpa pendampingan, tanpa akses teknologi, bahkan tanpa jaminan harga pasca panen?” kritik Idra.

Menurutnya, Kabupaten Kepulauan Sula memiliki sumber daya alam melimpah: produksi kopra mencapai 30.466 ton per tahun, potensi perikanan besar, serta hasil hutan  yang menjanjikan. Namun, semua dikelola secara mentah dan diekspor tanpa nilai tambah.

Serapan tenaga kerja pun memprihatinkan. Dari sekitar 6.683 lulusan sarjana, hanya 4% yang terserap di sektor formal daerah. “Sumber daya manusianya ada, tapi ruangnya tidak disediakan. Anak muda akhirnya memilih pergi,” tegasnya.

Sementara itu, Iffatullah Gailea mengkritik lemahnya fondasi hukum dalam pembuatan kebijakan publik daerah. Banyak program berjalan tanpa arah, transparansi, dan jauh dari aspirasi masyarakat.

“Kebijakan publik kita masih terlalu administratif, tidak partisipatif, tidak berbasis bukti, dan tanpa proses evaluasi yang jelas,” ujarnya.

Ia mengusulkan strategi pembenahan mulai dari peningkatan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan, penggunaan teknologi digital, peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan, hingga mekanisme evaluasi hukum yang transparan dan akuntabel.

Menurutnya, tanpa landasan hukum yang kuat, pelayanan publik akan terus mandek dan rentan dipolitisasi.

Kedua narasumber sepakat, pemekaran daerah tidak boleh berhenti sebagai simbol administratif. Pemekaran harus bertransformasi menjadi perubahan nyata berupa pelayanan publik yang adil, penciptaan lapangan kerja, dan tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan.

“Sudah 22 tahun kita berdiri sebagai kabupaten mandiri. Jika masih tertinggal, ini bukan sekadar masalah teknis, tapi kegagalan struktural,” tutup Idra.

Diskusi publik ini mengingatkan bahwa kemajuan daerah tidak diukur dari spanduk ucapan ulang tahun atau rekor MURI, melainkan dari kualitas hidup warganya. Jika pelayanan publik tetap lamban, petani tetap miskin, dan sarjana terus merantau — maka pemekaran hanya akan menjadi sejarah selebrasi tanpa makna substansial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *