Opini

Pentingnya Penetapan Batas Wilayah Antar Desa dalam Tata Kelola Pemerintahan Daerah

253
×

Pentingnya Penetapan Batas Wilayah Antar Desa dalam Tata Kelola Pemerintahan Daerah

Sebarkan artikel ini
Samsi Duwila

                                                         Oleh: Samsi Duwila

Penetapan batas wilayah antar desa merupakan aspek fundamental dalam tata kelola pemerintahan daerah yang efektif, tertib, dan berkeadilan. Kejelasan batas administratif tidak hanya memberikan kepastian hukum bagi pemerintah desa dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya, tetapi juga menjadi fondasi utama dalam menjaga stabilitas sosial dan kerukunan antarwarga. Dengan batas wilayah yang terdefinisi secara tegas, pemerintah desa dapat mengelola sumber daya, merencanakan pembangunan, serta memberikan pelayanan publik dengan lebih terarah, efisien, dan transparan.

Lebih jauh, batas wilayah yang jelas juga memegang peranan penting dalam mencegah konflik sosial yang kerap timbul akibat tumpang tindih klaim wilayah. Ketidakjelasan batas desa dapat memicu perselisihan antarwarga maupun antarpemerintahan desa, yang berujung pada terganggunya proses pembangunan dan potensi kerugian sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, proses penetapan batas desa harus dilakukan secara cermat dan melibatkan semua pemangku kepentingan, mulai dari masyarakat lokal, pemerintah desa, kecamatan, hingga pemerintah kabupaten atau provinsi.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penetapan batas desa di berbagai daerah masih menghadapi tantangan serius, termasuk di Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Beragam kendala administratif dan teknis seperti keterbatasan data spasial, minimnya SDM yang terlatih dalam pemetaan, serta perbedaan persepsi antar desa menjadi hambatan dalam proses ini. Hal ini dapat memunculkan konflik berkepanjangan yang tidak hanya memperburuk hubungan antar desa, tetapi juga merugikan masyarakat secara luas.

Salah satu contoh nyata adalah konflik batas wilayah antara Desa Kou dan Desa Waitamela di Kecamatan Mangoli Timur. Sengketa ini dipicu oleh dokumen tapal batas yang belum memenuhi standar, baik dari segi legalitas, keakuratan data koordinat, maupun pencatatan historis wilayah. Idealnya, dokumen batas wilayah harus mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa, yang mensyaratkan adanya peta resmi, data demografi terkini, serta riwayat administratif yang jelas.

Rapat koordinasi yang digelar pada 31 Agustus 2023 oleh Bagian Tata Pemerintahan Setda Kepulauan Sula menunjukkan masih banyak kekurangan. Kepala Bagian Pemerintahan, Suwandi H. Gani, memaparkan bahwa dokumen dari Desa Kou hanya berupa salinan tanpa titik koordinat valid, sedangkan dokumen dari Desa Waitamela tidak mencerminkan kondisi aktual dan kurang lengkap dalam aspek historis. Fakta ini menegaskan perlunya keseriusan dalam penyusunan dokumen batas wilayah, yang harus berbasis data dan prosedur hukum yang sah.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada tindak lanjut yang konkret dari hasil rapat tersebut. Konflik batas antara kedua desa masih berlangsung dan menciptakan ketidakpastian administratif yang menghambat pembangunan desa dan memicu potensi ketegangan sosial. Kondisi ini menuntut peningkatan koordinasi lintas sektor, serta komitmen kuat dari pemerintah daerah untuk menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan yang inklusif dan solutif.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain: mempercepat verifikasi dokumen tapal batas, memberikan pendampingan teknis secara intensif, serta memanfaatkan teknologi seperti Sistem Informasi Geografis (SIG) guna menghasilkan peta yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Di samping itu, keterlibatan aktif masyarakat dalam proses penetapan batas sangat penting untuk memastikan hasil yang representatif dan diterima oleh seluruh pihak.

Penegasan batas desa bukan semata urusan administratif, melainkan landasan penting bagi pembangunan desa yang berkelanjutan, damai, dan berkeadilan. Ketika batas wilayah jelas, maka pelayanan publik akan berjalan lebih optimal, konflik dapat diminimalkan, dan kesejahteraan masyarakat akan lebih mudah dicapai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *