Opini

Janji Manis, Uang Raib: Kenapa Kita Masih Tertipu Investasi Bodong?

143
×

Janji Manis, Uang Raib: Kenapa Kita Masih Tertipu Investasi Bodong?

Sebarkan artikel ini
Akademisi Universitas Khairun Ternate, Rheza Pratama
Akademisi Universitas Khairun Ternate, Rheza Pratama

Oleh: Rheza Pratama ( Akademisi Universitas Khairun Ternate )

Di setiap zaman, selalu ada wajah baru dari penipuan lama. Janji keuntungan tinggi, proses cepat, dan risiko yang katanya bisa diabaikan—narasi klasik ini terus hidup, bereinkarnasi dalam rupa-rupa istilah kekinian: crypto, trading autopilot, robot e-wallet, koin pre-sale, hingga proyek “berbasis komunitas” dengan embel-embel digital. Nama boleh berubah, kemasannya makin canggih, tetapi motifnya tetap sama: menumpuk keuntungan di atas ketidaktahuan orang banyak.

Yang mereka jual bukan produk atau layanan nyata. Yang mereka tawarkan adalah fantasi kekayaan instan. Fantasi ini dibungkus dalam balutan presentasi memukau, video testimoni emosional, dan kata-kata sakti: “cuan konsisten”, “bukan MLM”, “legal 100%”, “diawasi lembaga resmi”, atau jargon terbaru: “blockchain berbasis kebaikan.” Yang menjebak bukan sekadar produknya, melainkan cara berbicara tentang produk itu.

Namun perlu ditekankan: bukan teknologinya yang salah. Crypto sebagai sistem terbuka, trading sebagai mekanisme pasar, atau e-wallet sebagai medium transaksi digital—semuanya netral. Masalah muncul ketika teknologi dijadikan kamuflase penipuan. Di balik istilah asing dan presentasi profesional, terdapat satu pola yang konsisten: tidak ada bisnis riil yang menopang arus kas. Dana yang masuk hanya digunakan untuk membayar anggota sebelumnya. Skema ini sudah dikenal sejak era Charles Ponzi—dan tetap eksis karena satu alasan: kita mudah tergoda oleh janji yang terlalu indah untuk menjadi nyata.

Di tengah dunia yang semakin kompleks, literasi keuangan bukan lagi pilihan, melainkan benteng terakhir perlindungan sosial. Kita hidup di zaman dengan limpahan informasi, namun kesadaran finansial justru mengalami defisit. Banyak orang lebih mahir menggunakan aplikasi belanja daripada memahami fitur keamanan rekeningnya sendiri. Banyak pula yang bisa membuat thread viral soal gaya hidup, tapi tidak tahu cara memverifikasi legalitas perusahaan investasi melalui situs OJK.

Padahal, investasi bukan perkara “percaya begitu saja.” Investasi adalah tindakan rasional yang menuntut kehati-hatian, pemahaman, dan verifikasi. Jika satu-satunya alasan seseorang menanamkan uang adalah karena “teman sudah untung” atau “ada testimoni artis”, maka ia sedang berjalan di atas tali tipis yang membentang antara keputusan dan kerugian.

Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti:

Apakah entitas ini memiliki izin resmi dari OJK?

Apa model bisnisnya?

Dari mana arus keuntungannya berasal?

Adakah laporan keuangan terbuka dan dapat diaudit?

adalah pertahanan awal terhadap jebakan investasi bodong. Mengajukan pertanyaan bukan sikap sinis, melainkan langkah kritis untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dari eksploitasi.

Dalam konteks ini, mencegah satu orang dari jebakan investasi bodong adalah wujud nyata keadilan sosial. Kita bukan hanya menyelamatkan uangnya, tetapi juga martabat dan masa depannya.

Dan bila kita menemukan aktivitas mencurigakan—terutama yang menawarkan keuntungan besar dalam waktu cepat—diam bukan lagi pilihan etis. Kita tidak bisa lagi menutup mata ketika saudara, teman, bahkan tetangga kita sedang digiring masuk dalam skema penipuan hanya karena tidak ada yang bersuara.

Ingatlah: yang terburu-buru dalam dunia investasi bukan cepat kaya, tetapi cepat hilang—hilang uang, hilang kepercayaan, bahkan hilang harga diri. Maka setiap klik, setiap “setor dana”, harus dibarengi dengan kesadaran penuh bahwa kita sedang mengambil risiko, bukan sedang menyambut jackpot.

Hari ini, melawan investasi bodong adalah bentuk keadaban finansial. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, melainkan juga isu etika dan pendidikan. Masyarakat yang sehat secara finansial adalah masyarakat yang terbebas dari ilusi kekayaan instan dan kokoh dalam prinsip kehati-hatian.

Mari kita bangun budaya baru: budaya cek fakta sebelum percaya, budaya bertanya sebelum tanda tangan, dan budaya literasi keuangan yang tidak bisa dibeli oleh testimoni selebriti atau kilau presentasi digital. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

kendali Banner