Oleh : Marlon Mochtar Basara (orang biasa)
Hiu predator adalah simbol dari sistem yang korup,
keganasan oligarki, politikus hitam;
dan marlyn adalah nama lain dari tanah air
dan seisinya yang mutlak dijaga-rawat bagi kehidupan anak-cucu di hari kemudian.
kendali – Seumpama menang. Garis takdir akan mendesak Sultan Husain Alting Syah memainkan peran Santiago dalam novel “Lelaki Tua dan Laut,” sebuah mahakarya mendunia yang mengantarkan sang penulis, Ernest Miller Hemingway, meraih nobel sastra 1954.
Ini novel fiksional yang bermain dengan kecerdasan alegoris–serupa George Orwell dalam “Animal Farm”— tetapi mengandung kekayaan pesan yang dapat dibaca secara hermeneutika-politis.
Retorika politik hipokrisi acap tak berumur panjang. Teks hipokrisi para politisi disusun pagi hari dan membusuk sebelum matahari terbenam. Tak ada dimensi visioner, kering daya imajinasi, minus mutu reflektif. Tetapi tidak karya sastra, sekalipun karya sastra tidak menyodorkan dokumen baku menyusun kebijakan publik, tetapi karya sastra hadir laksana sumber mata air inspirasi, memungkinkan kebaruan interpretasi serta menyulut spirit pergerakan manusia dalam membangun peradaban.
“Tetralogi Pulau Buru” karangan Pramoedya Ananta Toer menginspirasi pergerakan kaum muda menumbangkan rezim kediktatoran Soeharto. Puisi sufistik Jalaluddin Rumi yang kaya akan dimensi keilahian serta universalisme cinta telah memengaruhi pandangan Barat terhadap Islam yang rahmatan lil alamin. Berlembaran abad Dola-Bololo dijadikan pegangan falsafah masyarakat Moloku Kie Raha dalam mengarungi samudera kehidupan, sebuah khazanah kesusastraan lokal yang memiliki nilai intrinsik dan ekstrinsik mengenai kemakrifatan, relasi sosial, dan keseimbangan alam.
Jika romance “Ikan-Ikan Hiu Ido Homa” karya Mangunwijaya berkisah mengenai eksploitasi penguasa terhadap masyarakat lokal di pesisir Halmahera Utara abad 16 dan 17, maka “Lelaki Tua dan Laut” membentangkan narasi pembalikan: Santiago bertarung melawan hiu-hiu predator yang menjarah ikan marlyn hasil tangkapan.
Hiu predator adalah simbol dari sistem yang korup, keganasan oligarki, politikus hitam; dan marlyn adalah nama lain dari tanah air dan seisinya yang mutlak dijaga-rawat bagi kehidupan anak-cucu di hari kemudian.
Santiago bernazar dan tafakur. Seuntai sabda mengorbit perlahan: “Pemilihan Gubernur tak boleh dilandasi syahwat meraih jabatan dunia. Suksesi politik bukan soal kalah dan menang, kawan dan lawan, ini soal pemulihan martabat dan harga diri negeri tercinta.
Dari ketinggian Kie Matubu, Santiago menyaksikan jelas di lautan bebas Jazirah al-Mulk— panji Armayn, Kasuba, Mus– telah karam ditelan durjana sendiri. Santiago yang waskita pun turun gunung, dan menerjunkan segenap jiwa-akal-badan ke medan pertarungan, seperti kisah epik Sultan Nuku leluhurnya, merebut kembali kedaulatan yang telah dirampas penjajah: tanah, sungai, laut, pulau, hutan, sumber daya alam.
Dalam proses perjuangan memulihkan Jazirah al-Mulk, Santiago akan diserang hiu-hiu predator serta sekian rintangan dari dalam dan luar yang akan terus mengganggunya. Tetapi, duhai semesta yang penuh kasih, Santiago tak sendirian, ia dikelilingi Manolin, diperkuat orang-orang tulus tercerahkan, diberkahi ruh auliya di langit, serta berperisai parang dan salawaku.
Doa balakusu se kano-kano untuk Santiago Tidore, “Semoga Allah Ta’ala merahmatimu, teguh di jalan Rasulullah, sesabar Abu Bakar ash-Shiddiq, setangguh Umar bin Khattab, sedermawan Utsman bin Affan, secerdas Ali bin Abi Thalib.”