Pop Culture

Kakeksugi: Eksperimen, Kritik, dan Teater Bunyi dari Ruang Gelap Experimental Rock

34
×

Kakeksugi: Eksperimen, Kritik, dan Teater Bunyi dari Ruang Gelap Experimental Rock

Sebarkan artikel ini
Kakeksugi, Band experimental Rock dari Maluku Utara yang hadir dengan alunan distori liar, teatrikal, dan penuh lapisan kritik sosial. Foto:(Kakeksugi.Experimental).

Kendali- Kakeksugi bukan sekadar band—mereka adalah fenomena kecil yang ingin mengganggu kenyamanan besar. Di Ternate, Maluku Utara tempat hiruk dan sunyi sering bertabrakan tanpa aba-aba, mereka tumbuh dari ruang-ruang nongkrong, obrolan patah sambung, dan kegelisahan yang tak pernah selesai dicatat. Terbentuk pada 2020, Kakeksugi memilih jalur experimental rock, genre yang lebih sering menjadi rumah bagi para pembangkang ketimbang pencari aman. Sejak awal, mereka menolak bentuk-bentuk musik yang patuh pada stereotip. Penampilan mereka nyaris selalu hadir sebagai ritual: liar, teatrikal, dan penuh lapisan kritik sosial yang disamarkan lewat distorsi serta struktur musik yang tak pernah berjalan lurus.

Karakter sonik Kakeksugi dibangun lewat gitar melengking yang terasa seperti alarm peringatan, lapisan distorsi yang tidak konvensional, dan gimmick teatrikal yang menghadirkan atmosfer gelap nan dramatis. Musik bagi Kakeksugi adalah kanal bagi keresahan, bukan dekorasi hiburan. Mereka tidak sedang bermain untuk viral—mereka bermain untuk mengusik.

Pada November 2021, Kakeksugi masuk ke kompilasi KONG A Metaverse, momentum penting yang menandai keberanian mereka untuk keluar dari lingkaran eksperimental kecil dan melempar karya ke publik lebih luas. Melalui proses kurasi ketat, mereka berhasil merilis dua single yang sama-sama sarat makna: Lost in Echoes dan Ode to All Capitan.

Lost in Echoes adalah pengakuan getir tentang mempertahankan prinsip meski harus menghadapi konsekuensi paling ekstrem—terinspirasi dari kisah para biksu Tibet yang melakukan protes total. Lagu ini adalah jeritan melankolis yang dibiarkan tenggelam dalam gaung distorsi.

Sementara itu, Ode to All Capitan adalah bentuk penghormatan kepada “pahlawan lokal”—sosok-sosok yang sering terlupakan namun justru menopang kehidupan sehari-hari. Lagu ini adalah kartu pos untuk mereka yang hidupnya jarang dirayakan.

Secara visual, Kakeksugi tampil dengan identitas yang kuat: topeng balaclava merah terang yang menyembunyikan wajah, namun menonjolkan karakter. Alih-alih personalisasi individu, mereka memilih anonimitas sebagai estetika. Di atas panggung, keseluruhan personil—dari vocalist/guitarist hingga synth player—terlihat seperti satu tubuh kolektif yang bergerak dengan kemarahan dan kepekaan yang sama.

Jika single mereka adalah deklarasi, maka daftar Unreleased Track adalah janji masa depan. “Dynamic Albatross,” “Secret Syuga,” “Take a Rest of the Moon,” hingga “Temporary Soda” menunjukkan bahwa ruang eksplorasi Kakeksugi belum habis—bahkan mungkin baru dimulai.

Pada akhirnya, Kakeksugi adalah band yang berjalan di jalur sendiri. Mereka tidak membangun musik—mereka membangun atmosfer. Mereka tidak sekadar tampil—mereka menyelenggarakan perlawanan dalam bentuk bunyi. Dalam dunia musik yang penuh keseragaman dan template, Kakeksugi adalah gangguan kecil yang menyenangkan, sekaligus pengingat bahwa seni tidak harus rapi untuk menjadi berarti.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *