Opini

Mendengar Laut Bercerita

136
×

Mendengar Laut Bercerita

Sebarkan artikel ini
"Kita jadi paham, bahwa daerah-daerah yang terdampak ini—mulai dari Sumatera, Aceh, Malaysia, juga Thailand—sebenarnya adalah tetangga dekat. Mereka adalah daerah yang berada pada garis pantai yang sama, yang dihubungkan oleh satu kesatuan perairan: Laut Andaman dan Selat Malaka.." (Em Haikal)

Oleh: Em Haikal-Kolomnis

Berbagai berita bencana yang terjadi secara serentak di berbagai daerah beberapa hari ini, memberi kita pelajaran berharga. Daerah-daerah yg terdampak cuaca ekstrim, banjir, dan longsor adalah daerah dengan corak ekonomi ekstraktif pertambangan, perusahaan kayu, dan pertanian monokultur. Juga emisi karbon yang berlebihan dari PLTU batubara dan tata kelola ruang yang tidak ramah lingkungan. Ini semua sudah begitu terang dan jelas.

Namun, bencana ini juga memberi kita suatu rasa ingin tahu dan gairah pengetahuan yang baru. Salah satunya adalah laut. Sebab, daerah-daerah yang terdampak ini-Sumatera, Aceh, Malaysia, juga Thailand-, adalah daerah yg berada pada garis pantai yang sama, yaitu: Laut Andaman dan Selat Malaka.

Saya tak tahu, bagaimana seharusnya kita memahami laut. Namun, menurut para pakar, cuaca ekstrim, bibit terbentuknya badai, juga gempa dan tsunami, dapat dilihat dan ditentukan dari kondisi laut. Silkon Tropis, sebagaimana yang diutarakan BMKG, adalah benih badai yang terbentuk di laut. Serupa amarah yg menggumpal di dada. Selat Malaka yang biasanya teduh, kini bangkit dan mengaduh.

Saya pernah baca, bahwa pada mulanya seluruh permukaan bumi adalah laut. Pergerakan dasar laut lah yg membentuk semua daratan yang muncul di atasnya. Bukan hanya itu, Wallace, seorang naturalis inggris, bahkan bisa menentukan peta persebaran flora dan fauna berdasarkan garis laut, yang disebut dengan garis Wallace. Bahkan, teori evolusi yang digagas Darwin– yg juga mendapat asupan data dan pengetahuan dari Ternate– berbasis pada laut.

Namun, selama ini lautan selalu menjadi misteri. Selama ini laut selalu luput dari cara kita melihat, memahami, dan merasa akan ruang. Saya tak tahu, bagaimana bisa dan sejak kapan, orang-orang yang hidup di negeri lautan ini terputus hubungan perspektif dengan laut.

Penulisan sejarah kita bahkan terlalu bias daratan. Pemahaman kita mengenai ruang sangat dipengaruhi oleh narasi besar sejarah rempah-rempah. Istilah “kepulauan rempah-rempah” bahkan problematik. Sebab itu cara pandang orang luar– Arab, Cina, Spanyol, Portugis, dan Belanda– terhadap Maluku Utara sebagai sebuah ruang. Itu bukan cara pandang kita sendiri terhadap ruang hidup kita sendiri. Di dalam cara pandang itu, laut tak terlihat sebagai bagian penting dari perspektif ruang hidup. Laut seolah-olah gaib dan raib. Padahal dalam sejarah rempah juga jalur sutra, laut adalah ruang utama yang memungkinkan sejarah dan perhubungan sosial itu terjadi.

Kita sepertinya perlu mempertanyakan kembali berbagai konsep ruang yang selama ini telah ikut membentuk imajinasi ruang dalam mental-konsepsi kita. Misalnya seperti, “kie raha yo fato-fato”, “bobato kie se kolano”, “gam range”, “nyili gulu-gulu”, “papua gam sio”, dan lain sebaginya. konsep-konsep ini perlu dipertanyakan dan direnungkan kembali. Untuk tujuan menemukan lagi ikatan yang mendasar antara manusia dan alam dalam satu kesatuan sosial-ekologi.

Dari laut kita bisa melihat bahwa, bencana yang menimpa Sumatera, Aceh, Malaysia, dan Thailand; juga termasuk menjelaskan bahwa daerah-daerah itu, meskipun terpisah secara administratif, justru terhubung dalam satu kesatuan ekologi yang tak terpisahkan.

Mungkin kita perlu melihat kembali Maluku Utara bukan dari atas gunung, bukan juga dari sejarah para sultan- tapi dari empat penjuru lautan yang melingkupi kita: Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Arafuru, dan Samudera Hindia.

Mungkin kita perlu kembali mendengar laut bercerita.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *