Oleh: Muhammad Gibran -Alumni Sosiologi Fisip Unsrat
Di tengah banyak pejabat yang sibuk menambal citra dan menutupi kelemahan, DPRD Kota Ternate justru tampil dengan kejujuran yang jarang terdengar. Seperti pernyataan Wakil Ketua DPRD Jamian Kolengsusu di sejumlah media. Ia mengakui kinerja lembaganya, khususnya Komisi II, tidak maksimal pada tahun pertama masa kerja. Terlebih pada fungsi pengawasan terkait Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Ternate yang seret.
Pengakuan sederhana ini mungkin terdengar sepele, tetapi di tengah budaya politik lokal yang kerap basa-basi, pengakuan seperti itu merupakan langkah berani. Tidak banyak pejabat publik yang mau menatap cermin dan berkata apa adanya.
Dalam politik yang sering dipenuhi dengan pencitraan, kejujuran menjadi barang langka. Namun, kejujuran tidak cukup bila tidak diikuti tindakan nyata. Apalagi situasi fiskal daerah kini sedang tertekan. Pemerintah pusat telah memberlakukan kebijakan pengurangan dana Tunjangan Kinerja Daerah pada tahun anggaran 2025. Pemotongan ini mempersempit ruang fiskal dan memaksa pemerintah daerah menggantungkan harapan pada pendapatan asli daerah sebagai penopang belanja publik.
Kondisi ini menuntut pemerintah kota untuk segera berbenah. Ketika dana transfer pusat menurun, maka satu-satunya jalan adalah mengoptimalkan sumber daya lokal. Namun, garapan akan sumber daya lokal kerap tidak maksimal. Pendapatan Asli Daerah dari tahun ke tahun stagnan. Target selalu tinggi, tapi realisasi berjalan lambat bahkan mengecewakan.
Potensi banyak, tetapi tidak digarap dengan sungguh-sungguh. Retribusi pasar menurun, padahal aktivitas jual beli tetap ramai setiap hari. Sistem parkir elektronik sudah lama diwacanakan, tetapi belum juga dijalankan. Aset kota seperti Plaza Gamalama berdiri megah di jantung kota, tetapi tidak memberi kehidupan bagi ekonomi daerah.
Masalah Ternate bukan soal kekurangan sumber daya, melainkan kekurangan keberanian dan kreativitas dalam mengelolanya. Pemerintah kota terlalu lama bergantung pada aliran dana pusat, sementara potensi ekonomi lokal belum diberdayakan secara serius. Ketika tekanan fiskal datang, kelemahan itu menjadi jelas.
Namun bicara tentang keberanian dan transparansi, tantangan itu tidak hanya untuk pemerintah kota. DPRD pun tidak boleh berhenti pada pengakuan. Belum lama ini publik menyoroti pengadaan iPad dan baju dinas bagi anggota dewan yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah di tengah efisiensi. Detail pengadaan itu belum sepenuhnya dijelaskan kepada publik, mulai dari spesifikasi hingga manfaatnya bagi kinerja legislasi.
Memang persoalan itu dikatakan sebagai hak normatif anggota DPRD. Akan tetapi kebijakan tersebut membawa “bola liar” pada pandangan publik, seolah menghamburkan anggaran di tengah efisiensi.
Dalam kondisi fiskal yang berubah, setiap keputusan politik memiliki efek optik di mata publik. Karena itu, DPRD seharusnya menjadi teladan dalam efisiensi dan transparansi. Fungsi pengawasan dan legislasi harus dijalankan dengan lebih tajam. Mereka bisa menekan pemerintah kota untuk membuka data PAD secara terbuka, meninjau regulasi yang sudah usang, serta mendorong OPD untuk bekerja dengan inovatif dan bertanggung jawab.
Meski begitu, pengakuan wakil ketua DPRD layak dihargai. Di tengah politik lokal yang sering menolak refleksi, ia hadir dengan kesadaran diri yang jujur. Ternate membutuhkan lebih banyak politisi yang mau mengakui kekurangannya, bukan hanya mereka yang pandai memoles pencitraan. Kejujuran seperti ini bisa menjadi titik awal dari politik yang mau berkaca. Sebab hanya dari kesadaran akan kelemahan, perubahan bisa dimulai.(*)













