Oleh: Muhammad Gibran
Di banyak kota, istilah pelaksana tugas (Plt) adalah solusi sementara. Sebuah kursi yang kosong diisi sebentar, sekadar agar roda organisasi tidak berhenti berputar. Tapi di Ternate, makna Plt sepertinya sudah berubah. Kalau ada kamus baru birokrasi lokal, Plt bisa diartikan sebagai “Pemimpin Lama Tak selesai.” Hal ini bisa kita lihat pada status Plt yang melekat pada Perumda Air Minum Ake Gaale Kota Ternate.
Pada akhir tahun 2022, direktur definitif Perumda Air Minum Ake Gaale Kota Ternate dinilai bermasalah dan akhirnya diganti oleh Pemerintah Kota Ternate. Sejak saat itu, jabatan pucuk pimpinan Perumda tersebut diisi oleh seorang Plt. Namun, status Plt pada PDAM melekat dari akhir tahun 2022 hingga tahun 2025. Meski banyak desakan publik, kepastian soal penetapan dirut definitif tak kunjung hadir.
Teranyar, pada pertengahan tahun 2025, Walikota Ternate menunjuk Plt baru dengan salah satu misinya melaksanakan mekanisme pembentukan dirut definitif. Di titik ini, publik dihadapkan pada harapan baru atau sekadar janji berulang. Sebab, janji soal dirut definitif sudah kerap diucapkan, tapi belum terbukti. Jangan-jangan Plt yang baru ini pun akan bekerja bertahun-tahun dengan embel-embel “sementara.”
Padahal, di atas kertas, perbedaan Plt dengan dirut definitif sangat jelas. Plt bekerja dengan mandat terbatas seperti mengisi kekosongan, menjalankan rutinitas, memastikan kantor tidak tutup. Sementara dirut definitif adalah nahkoda sejati, punya legitimasi penuh untuk membuat keputusan jangka panjang, merancang strategi, dan menata arah perusahaan (lihat: PP No. 54 Tahun 2017 tentang BUMD, Pasal 57-60).
Sayangnya, Perumda Ake Gaale Ternate justru dipimpin dengan logika darurat yang dipanjangkan. Plt yang seharusnya jadi jembatan, kini berubah semacam jalan tol yang tak berujung. Pemerintah kota Ternate kerap menyebut “proses seleksi segera dilakukan,” tapi kata “segera” itu seolah punya makna baru: bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Warga menampung air hujan di ember, sementara pemerintah menampung janji dirut definitif di rekaman ponsel para jurnalis.
Pertanyaannya, mengapa kursi dirut definitif begitu sulit diisi? Apakah tidak ada sosok yang layak? Atau jangan-jangan lebih nyaman jika jabatan itu tetap Plt supaya mudah diatur, mudah diganti, mudah dikendalikan? Jika demikian, maka Perumda Ake Gaale berisiko terjebak dalam logika politisasi jabatan. Alhasil kursi direktur tampak diperlakukan sebagai instrumen kekuasaan, alih-alih sebagai posisi strategis untuk memastikan layanan publik.
Di sisi regulasi, memang benar tidak ada aturan hukum positif yang melarang Plt dipertahankan berlarut-larut. Bisa kita lihat pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 54 Tahun 2017 tentang BUMD, hingga Permendagri No. 23 Tahun 2020 tentang BUMD hanya mengatur mekanisme pengangkatan definitif, bukan durasi maksimal Plt.
Kisah jabatan Plt yang tak berujung ini bukan cerita baru. Data dari Ombudsman RI dalam Laporan Tahunan 2023 menunjukkan bahwa ‘penundaan berlarut’ adalah salah satu bentuk maladministrasi terbanyak. Dari total 3.415 dugaan maladministrasi, sebanyak 967 kasus (28%) yang berkaitan dengan isu ini. Angka ini menggambarkan bahwa apa yang terjadi di Ternate hanyalah cerminan dari masalah tata kelola yang lebih luas di tingkat nasional.
Perlu digaris bawahi, tulisan ini tidak sedang mempermasalahkan kinerja pribadi Plt. Setiap Plt tentu bekerja sesuai kemampuan dan ruang gerak yang diberikan. Masalah utamanya ialah tupoksi yang berbeda. Plt hanya sementara dengan kewenangan terbatas, sedangkan dirut definitif memegang legitimasi penuh untuk menata strategi dan membuat kebijakan besar. Dan saat ini narasi soal pembentukan dirut definitif diobral kembali. Entah kapan kepastiannya, namun patut dinantikan kemunculan “nahkoda sejati” pada Perumda Ake Gaale Kota Ternate.