Kendali – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tidore Kepulauan terlihat berada dalam posisi dilematis saat menerima tuntutan Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fatayat NU Kota Tidore terkait penghapusan maupun penghematan sejumlah tunjangan yang melekat pada Anggota DPRD.
Tunjangan yang dipersoalkan antara lain Tunjangan Perumahan senilai Rp 4,4 miliar per tahun, Tunjangan Transportasi Rp 3,5 miliar, Tunjangan Kesejahteraan Anggota dan Pimpinan Rp 4,5 miliar, serta Tunjangan Komunikasi Intensif Rp 3,1 miliar.
“Pastinya kami kecewa, karena Anggota DPRD yang seharusnya sadar bisa mengurangi tunjangan mereka demi kepentingan orang banyak, justru tidak ada yang berani bersikap dengan dalih aturan,” tegas Fandi Muhammad, Juru Bicara GP Ansor dan Fatayat NU Kota Tidore, Selasa (25/9).
Fandi menambahkan, meskipun hak-hak DPRD memang diatur dalam ketentuan, besar kecilnya tetap merupakan kewenangan DPRD dan Pemerintah Daerah untuk menetapkan. Karena itu, menurutnya tidak logis jika DPRD tidak bisa bersikap untuk mengurangi tunjangan mereka.
“Awalnya kami minta dihapus, tapi karena ada aturan, kami minta dikurangi saja. Supaya miliaran rupiah itu bisa dialihkan untuk kepentingan masyarakat,” tandasnya.
Meski kecewa, Fandi tetap mengapresiasi DPRD yang bersedia berdialog secara humanis. Hasil dialog tersebut melahirkan kesepakatan tindak lanjut terhadap empat poin tuntutan GP Ansor dan Fatayat NU, yakni: mendukung pengesahan RUU Perampasan Aset, menolak kenaikan pajak yang membebani rakyat, melakukan penghematan anggaran perjalanan dinas DPRD, serta mendorong transparansi penggunaan APBD.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Tidore, H. Ade Kama, menegaskan bahwa rapat dengar pendapat telah menghasilkan nota kesepahaman terkait empat poin tersebut. Namun, soal tunjangan DPRD, menurutnya masih perlu dikaji bersama karena menyangkut regulasi yang berlaku.
“Penghapusan tunjangan tidak bisa dilakukan karena diatur dalam ketentuan. Namun, kita akan kaji bersama untuk mencari langkah yang sesuai regulasi,” jelas Ade Kama.