Saloi

Sagea Surga kecil yang Tersembunyi; Sedang Menuju Kehancuran

21
×

Sagea Surga kecil yang Tersembunyi; Sedang Menuju Kehancuran

Sebarkan artikel ini
Potret area lingkar tambang IWIP di Desa Lelilef, di ambil dengan menggunakan drone, tampak kondisi wajah desa Lelilef yang mulai terkikis oleh industri pertambangan, Foto ; Anak Esa.

Oleh : Teguh Barakati – Penyair

Apa yang terlintas dipikiran kita ketika mendengar kabar dari Desa Sagea?, – dari sana ribuan kisah akan di mulai dan banyak jelajah yang akan membuka mata, bukan sekedar mata tapi juga batin kita sendiri.

Dalam berbagai alur cerita, riset, konten, bahkan data para LSM akan temukan bagaimana desa-desa yang berada di sekitar sagea kini berganti wujud dari kampung menjadi industri pertambangan berskala dunia.

Sekitar bulan Juni awal, bersama kawan-kawan ICW ( Indonesia corruption watch ), kami melakukan agenda ke Desa Sagea, sebuah pengalaman sekaligus membuka cakrawala pikiran. Saya tidak sendiri, namun bersama influencer, musisi, penyair dan konten kreator, bahkan para penulis-penulis muda dari berbagai kota. Kami berkumpul di Ternate, karena saya berdomisili di Tidore, lalu bertemu di pelabuhan Loleo – dan kami melakukan perjalanan menuju Sagea, membutuhkan waktu; kurang lebih 1 jam setengah untuk sampai di Weda ( Halmahera Tengah ), kemudian melanjutkan perjalanan 2 jam untuk sampai desa Sagea. Hari menyambut malam, perjalanan itu tidak biasa, teman-teman lain sudah lebih dulu sampai di Desa Sagea.

Sepanjang perjalanan, hutan-hutan tersimpan bunyi suara dan orang-orang berlalu lalang dengan kendaraan. Padahal seingatku, 20 tahun lalu hutan Halmahera hanyalah tempat palinghening dari bisikan kendaran, kini berbanding terbalik. Motor-motor kendaraan roda dua dan empat, berlawanan arah.Ya, mereka adalah pekerja tambang yang berganti shift kerja.

Menurut– Jatam, Pulau Halmahera sudah mengoleksi perusahan tambang sekitar 100 IzinUsaha Pertambangan. Dari salah satu bukit kejauhan lampu-lampu menjulang tinggi, di tengah hutan yang berganti wajah menjadi kota. Perusahan raksasa IWIP tampak dari kejauhan di ribuan hektar yang menjadi ancaman disana.

kondisi Lelilef Area lingkar tambang tempat perusahan iwip beroperasi, potret ini di ambil dengan menggunakan drone, Foto; Anak Esa.

Kami mengawali perjalanan belajar ini sebagai sebuah eksperimen pengetahuan, maklum kami tak memiliki basic meneliti pertambangan, melainkan sekelompok anak muda yang benar-benar gelisah dan penasaran soal kondisi daerah lingkar tambang.

Desa Sagea menjadi salah satu tempat kami berpetualang dan belajar lingkungankemudian selama 5 hari kami menginap di desa Sagea dari tanggal 16-20 juni. Disambut baik oleh teman-teman pejuang #savesagea – mereka bercerita bagaimana membentuk perlawanan di lingkar tambang, mereka aktif menyuarakan kegelisahan kampung sebagai benteng terakhir dan setiap aksi yang mereka lakukan mampu mendobrak kondisi pertambangan, mereka sedang melawan sebuah institusi oligarki kelas dunia.

Di hari pertama kami belajar, dengan menaiki bodi ketinting ( perahu motor ) menuju salah satu tempat wisata pinggir pantai di ujung kampung sagea, dari kejauhan teropong smelter menghiasi mata kami, potret ini seperti film-film dokumenter yang di ceritakan oleh Dandhy Laksono dlewat ekspedisi Indonesia biru.

Ruang Belajar

Di pendopo kami duduk melingkar, semua perlengkapan belajar di siapakan. Kami mulaidengan berkenalan satu dengan yang lain, suasana sejuk, pinggir danau, tempat air laut dan air kali bertemu, dan sesekali bodi kecil keluar masuk. Kelas belajar dimulai dengan mengasa kemampuan insting menganalisa lingkungan, mengenali korporasi, apa itu oligarki, sampai dengan presentasi korupsi iklim yang terjadi di lingkaran tambang. Disela-selah hujan berguyuran, datang dalam suasana yang syahdu, di ujuang kampung nampak tenang sekali. Seperti tidak ada-apa yang terjadi di kampung ini, padahal tidak jauh dari tempat kami belajar, perusahan tambang sudah menempel di gunung-gunung yang berganti wajah.

Membayangkan wajah kampung yang punya energi tersendiri, kita seperti diajak dalamsebuah refleksi terhadap kesadaran sosial kemudian pertanyaan-pertanyaan mendasar akan datang seperti ruang hidup masyarakat kian terkikis dan sumber kebutuhan laut dan darat yang semakin tercemar serta Desa lingkar tambang juga sudah menjadi ancaman; dalam data riset nexus 3 foundation tahun 2025 sampel ikan yang dikumpulkan dari Weda Bay nickelmengandung merkuri dan arsen- atau logam berat di tubuh ikan yang berada di lingkar tambang IWIP. Ancaman ini cukup nyata, namun semua tidak bisa elakan dengan kondisi atau status masyarakat lingkar tambang yang mencari nafkah.

Sore hari kami disambut dengan makanan yang sangat menakjubkan untuk dicicipi, ikan bakar, sayur rebus, pisang goreng, dan juga sambal yang tidak kalah enak. Masakan mereka sangat nikmat untuk kami cicipi. Hari pertama belajar menjadi pelita terhadap kesadaran kami akan pentingnya ruang hidup masyarakat di desa.

Wisata Ekologi

Pada hari kedua, kami melakukan rute perjalanan dengan bertamu pada tokoh-tokoh masyarakat, di Desa Lelilef kami bertemu dengan Om Nemo. Salah satu tokoh masyarakat lingkar tambang yang sampai hari ini masih bersuara secara lantang tentang dampak kerusakan lingkungan. Kami disambut hangat penuh senyum, beliau seakan bertambah energinya ketika bertemu dengan kami, di ruang tamu rumahnya, cerita itu dimulai; Om Nemo bercerita soal bagaimana perlawanan beliau selama ini melawan tambang.

“Dulu saya dibilang pengacau karena melawan tambang. Bahkan di tanah sendiri, saya seperti orang asing,” ucapnya pelan.“Teman pun makin sedikit. Tapi saya masih percaya, ada anak-anak muda yang peduli pada tanah moyangnya.”tuturnya.

Sudah tujuh tahun kawasan lingkar tambang dikuasai oleh PT IWIP. Bagi Om Nemo, kehadiran perusahaan raksasa itu bukanlah berkah, tapi beban. Ia menyaksikan perubahan dengan mata kepala sendiri—tanah-tanah adat terjual habis, kebun lenyap satu per satu, dan masyarakat dijanjikan kesejahteraan yang tak kunjung datang.

“IWIP datang, tapi apa yang mereka beri? Pendidikan? Kesehatan? Infrastruktur? Baru satu tahun ini saja terlihat. Tapi mereka sudah lama mengambil segalanya,” katanya getir.

“Mereka takut menyekolahkan anak-anak di lingkar tambang karena takut masyarakat jadi cerdas dan sadar haknya.”

Kami rombongan ketika berkunjung ke rumah Om Nemo, berdiskusi, berbagai cerita soal kondisi pertambangan di lokasi lingkar tambang Lelilef, Foto: ICW

Setelah berdiskusi panjang bersama om nemo, kami berkeliling di desa-desa lingkar tambang, mulai dari Lelilef, Gamaf, disana terbentang hutan-hutan yang kini mulai gundul. Dalam data Forest Watch Indonesia ( FWI ), Halmahera Tengah memiliki SDA yang cukup melimpah, dimana kabupaten dengan luas 227.683 Hektar sudah dikepung 66 izin usaha pertambangan (IUP), dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 hektar alias sudah 60 % Halmahera Tengah jadi industri tambang.

Sekitar pukul 12 siang, kami kembali ke desa Sagea. Makan siang di goa boki manuru, yang juga terkenal dengan wisata danau yang sudah mendunia. Di Sagea sebenarnya menyimpan banyak sumber daya alam bukan pertambangan saja, melainkan nilai-nilai ekologis. Adapun mitos-mitos kampung yang masih kuat, seperti danau legaye Lol, dalam mitos warga, hamparan danau yang indah itu ada tersimpan sebuah makam tua yang cukup sakral. Goa Boki manuru, juga Ikan-ikan yang cukup banyak, burung-burung endemik, cita rasa ini memberikan satu pengalaman cukup  berkesan. Sagea itu seperti surga kecil yang tersembunyi.

Salah satu ibu sagea yang kami temui di sekitar danau legaye Lol bilang, aktivitas kami seperti ini mencari kuli bia, kami disini menyebut dengan bia kipas, tidak jauh dari perahukami, tersimpan di perahu ibu-ibu itu tersimpan ikan yang di taru ember kecil bersama bia kipas, banyak sekali, momen yang sangat mahal yang tidak bisa dilupakan.

Akhir Cerita

Teman-teman semestinya dapat merasakan bagaimana kampung ini sebenarnya dalam ancaman besar korporasi oligarki, selama di sagea, mata saya takjub, orang-orang berjuang seperti kawan-kawan save sagea, merupakan salah satu pertahanan kampung yang masif.

Simbol-simbol perlawanan itu nyatanya perlu dilakukan. Mereka sangat masif membentuk perlawanan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau savesagea tidak ada, barangkali kampung-kampung di Halmahera Tengah sudah terjual habis.

Kami menutup hari dengan bunyi, puisi, nyanyian perlawanan; bahwasannya Desa Sagea sedang tidak baik-baik saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *