Kendali- Hari ini, Sabtu 30 Agustus 2025, menandai tujuh tahun operasi Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), kawasan pengolahan logam berat terpadu terbesar di dunia yang berdiri di pesisir Weda Tengah dan Weda Utara, Halmahera Tengah. Sejak diresmikan 30 Agustus 2018 oleh rezim Jokowi, IWIP bukan hanya sekadar kompleks peleburan nikel modern—ia adalah wajah telanjang dari kolonialisme ekstraktif yang merampok ruang hidup Halmahera dan pulau-pulau kecil lain demi transisi energi yang penuh kepalsuan.
Mardani Legayelol, Juru Bicara Save Sagea serta Warga Halmahera Tenga mengungkap fakta di balik jargon industrialisasi, IWIP menumpahkan luka ekologis yang dalam: lahan pangan warga dirampas, kebun-kebun digusur, sungai tercemar, dan air bersih yang dulu gratis kini harus dibeli dengan uang. Kesehatan warga pun merosot. ” Hasil penelitian Nexus3 Foundation bersama Universitas Tadulako menemukan logam berat seperti merkuri dan arsenik meracuni tubuh ikan, pekerja, bahkan masyarakat sekitar. Sementara laporan Narasi (2024) mencatat peningkatan polutan NO₂ dan SO₂ sejak smelter beroperasi, menciptakan hujan asam dengan pH 4,35–4,85—angka yang jauh dari normal,” kata Mardani.
Ironisnya, negara bukan saja menutup mata, tetapi justru menggelar karpet merah. IWIP dijadikan Proyek Strategis Nasional, Objek Vital Nasional, dan dalam RTRW Halmahera Tengah 2024–2043, wilayah konsesinya dilebarkan tiga kali lipat menjadi 13.784 hektare, merangsek hingga Patani Barat dan Weda Timur. Ekspansi ini semakin menegaskan bahwa negara memilih berdiri di sisi korporasi, bukan di sisi rakyat yang tanahnya dirampas dan kehidupannya dihancurkan.
IWIP hanyalah etalase; di belakangnya ada rantai panjang penaklukan. Ore nikel mengalir dari PT Weda Bay Nickel (45 ribu hektare konsesi) hingga tambang-tambang di Gebe, Fau, dan Gag—pulau-pulau kecil yang kini digerus. Dari Halmahera Timur, Subaim, Maba Tengah, hingga sungai vital seperti Sangaji, semua dihancurkan untuk memasok smelter IWIP. Laut di Teluk Buli pun kini mengandung logam berat beracun seperti Cr6, Ni, dan Cu, melebihi baku mutu PP No. 22/2021.
Sementara itu, tongkang-tongkang pengangkut ore menebar gangguan di laut, mengusir nelayan tradisional dari wilayah tangkap mereka. Bahkan karst Sagea, bentang alam yang jadi rumah sistem air purba, terancam digilas untuk kebutuhan kapur industri IWIP. Di sisi lain, kebutuhan listriknya yang masif ditopang PLTU batubara 6.560 MW (dengan rencana ekspansi 7.320 MW), yang berarti tambang batubara Kalimantan pun turut dikeruk demi rakusnya smelter di Weda.
Namun, semua perampokan ini dibungkus rapi dengan retorika “kemajuan ekonomi”, “kemakmuran daerah”, bahkan “transisi energi”. Padahal, yang sesungguhnya terjadi bukanlah transisi, melainkan perpanjangan umur energi kotor dengan wajah baru. Narasi hijau dijadikan selubung bagi perampasan ruang hidup, sementara krisis iklim global hanya dijadikan legitimasi.
Tujuh tahun IWIP adalah tujuh tahun luka: warga yang kehilangan tanah, nelayan yang kehilangan laut, hutan yang kehilangan jiwa, dan generasi yang kehilangan masa depan. Semua atas nama pembangunan, semua demi “energi bersih” yang nyatanya dibangun di atas kehancuran.