Oleh : Gahral Umasugi S.IP
Kendali-Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 telah menetapkan sejumlah komoditas unggulan strategis dari setiap kabupaten/kota sebagai prioritas pembangunan ekonomi daerah. Salah satu wilayah yang tercantum secara eksplisit adalah Kabupaten Kepulauan Sula, yang diidentifikasi memiliki potensi komoditas sektor perikanan dan pertanian, termasuk pala, kelapa, dan hasil laut lainnya. Penetapan ini mengindikasikan bahwa provinsi mulai memberikan perhatian lebih terhadap basis ekonomi lokal di wilayah kepulauan.
Namun, perhatian terhadap Sula dalam RPJMD ini tidak serta merta bebas dari problematik. Sebagai daerah dengan tingkat ekspansi investasi tambang yang masif, Kepulauan Sula menyimpan anomali pembangunan yang cukup nyata. Tercatat, terdapat lebih dari 10 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang beroperasi di wilayah tersebut. Sebagian besar IUP ini bergerak dalam eksploitasi biji besi dan emas, yang berimplikasi pada konflik agraria, degradasi lingkungan, hingga terpinggirkannya masyarakat adat dan petani-petani kecil dari ruang produksi mereka.
Di satu sisi, Pemprov menempatkan Sula sebagai lumbung pangan dan kawasan penghasil komoditas unggulan. Di sisi lain, kebijakan pemerintah pusat dan daerah masih longgar dalam mengontrol ekspansi industri ekstraktif. Ini merupakan kontradiksi serius yang patut disorot, sebab keduanya beroperasi dalam wilayah spasial yang sama namun dengan logika pembangunan yang saling bertolak belakang. Jika tidak ditata dengan baik, maka penguatan komoditas unggulan yang disebutkan dalam RPJMD hanya akan menjadi jargon kosong tanpa realisasi substansial di lapangan.
Sinkronisasi antara RPJMD Provinsi dan RPJMD Kabupaten/Kota menjadi aspek penting yang harus dijawab oleh setiap level pemerintahan. Secara normatif, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 86 Tahun 2017 mewajibkan RPJMD Kabupaten/Kota mengacu pada arah kebijakan dan sasaran pembangunan dalam RPJMD Provinsi. Dengan kata lain, jika Sula masuk sebagai daerah unggulan dalam RPJMD Provinsi, maka RPJMD Kabupaten Kepulauan Sula harus mengadopsi dan menerjemahkannya ke dalam program dan kegiatan yang operasional dan berbasis wilayah.
Salah satu langkah awal dalam sinkronisasi ini adalah memperjelas sektor prioritas daerah yang bisa menopang visi provinsi. Untuk Kepulauan Sula, ini berarti memperkuat kapasitas produksi pertanian dan perikanan rakyat, sekaligus membangun infrastruktur pasca panen yang layak termasuk:
1. Cold Storage
Lemari es atau gudang pendingin besar untuk menyimpan hasil panen, terutama ikan, sayur, buah, dan daging, agar tidak cepat busuk atau rusak.
Contoh: Nelayan menangkap ikan, lalu disimpan di cold storage supaya tetap segar hingga dijual.
2. Rumah Pengering (Drying House)
Bangunan khusus untuk menjemur atau mengeringkan hasil panen, seperti pala, cengkeh, jagung, atau rumput laut, tanpa tergantung cuaca.
Ini penting agar hasil tidak rusak karena hujan atau jamur, dan kualitas tetap terjaga.
3. Jalur Distribusi Logistik
Rute atau sistem transportasi (jalan, pelabuhan, kapal, mobil) yang digunakan untuk mengangkut hasil panen dari desa ke pasar atau ke luar daerah. Karena kalau jalur logistik buruk, hasil panen bisa telat sampai atau rusak di jalan.
Dan sistem pengolahan hasil pertanian pun perikanan. Tanpa tahapan ini, komoditas unggulan akan berhenti pada tataran produksi primer yang rendah nilai tambah.
Lebih lanjut, Pemkab Sula juga perlu mendorong regulasi daerah yang tegas dalam membatasi ekspansi tambang di kawasan pertanian produktif. Jika tidak, maka penetapan Sula sebagai wilayah penghasil komoditas unggulan hanya akan bersifat simbolik. Regulasi ini dapat berbentuk peninjauan ulang tata ruang wilayah (RTRW), perlindungan lahan pangan berkelanjutan (LP2B), hingga pembuatan perda perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional.
Peran DPRD Kabupaten Sula juga vital dalam proses ini. Fungsi budgething dan pengawasan mesti diarahkan untuk mendukung strategi peningkatan daya saing komoditas lokal. Begitu pula dengan penguatan peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau koperasi desa, yang bisa menjadi katalisator pasar bagi produk pertanian dan perikanan. RPJMD akan gagal apabila tidak terhubung dengan entitas pelaku ekonomi lokal secara konkret.
Di sisi lain, perlu ada forum komunikasi antara provinsi dan kabupaten secara periodik untuk memonitor pelaksanaan program yang bersifat lintas wilayah dan sektor. Program ini bisa melibatkan perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan forum-forum mahasiswa untuk melakukan riset, pendampingan teknis, serta advokasi kebijakan yang berbasis data lapangan.
Hal yang tidak kalah penting adalah meningkatkan literasi kebijakan di tingkat masyarakat dan desa. Banyak petani dan nelayan tidak mengetahui bagaimana arah pembangunan jangka menengah disusun. Jika masyarakat hanya menjadi objek program, maka keberlanjutan program tersebut akan sulit dijaga. Karena itu, pendekatan partisipatif dan dialogis harus menjadi metode utama dalam menyusun dan mengimplementasikan program unggulan daerah.
Dalam konteks keberlanjutan lingkungan, strategi pembangunan komoditas unggulan juga perlu memasukkan prinsip konservasi. Kawasan tangkapan ikan dan perkebunan tidak boleh dieksploitasi berlebihan tanpa perencanaan berkelanjutan. Model pertanian agroforestri dan perikanan berbasis konservasi bisa menjadi solusi alternatif agar pembangunan ekonomi tidak menggerus daya dukung ekologis.
Penting pula bagi pemerintah kabupaten untuk memperkuat sistem data terintegrasi yang dapat memantau pergerakan komoditas, harga pasar, dan potensi ekspor. Sistem ini akan membantu pengambilan keputusan berbasis bukti dan membuka peluang kolaborasi dengan pelaku usaha dari luar daerah. Data yang akurat juga bisa dijadikan bahan negosiasi dengan provinsi dan pusat dalam mengakses anggaran atau skema insentif tertentu.
Jika dilihat secara keseluruhan, masuknya Kepulauan Sula sebagai bagian dari komoditas unggulan dalam RPJMD Provinsi Maluku Utara merupakan peluang sekaligus tantangan. Peluang untuk menata kembali basis ekonomi lokal yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Tapi juga tantangan berat mengingat penetrasi korporasi tambang yang terus meningkat dan potensi konflik agraria yang terus membayangi masyarakat arus bawah.
Dengan demikian, perlu sinergi lintas aktor dan kelembagaan dalam memastikan bahwa arah kebijakan RPJMD benar-benar berpihak pada rakyat dan lingkungan hidup. Tidak cukup hanya menaruh nama daerah dalam dokumen rencana, namun mesti diiringi langkah nyata dan terukur. Jika tidak, maka RPJMD akan berujung sebagai narasi politik yang gagal dalam implementasi pembangunan.