Opini

Membaca Tulisan Asghar Saleh dan Muhammad Tabrani Mutalib; Dalam Kaca Mata Derrida

67
×

Membaca Tulisan Asghar Saleh dan Muhammad Tabrani Mutalib; Dalam Kaca Mata Derrida

Sebarkan artikel ini

Oleh ; M Ruh

Penulis mencoba membaca Tulisan perdebatan soal DOB yang dituliskan oleh Oleh Asgar Saleh yang kemudian di bantah oleh Muhammad Tabrani, disana ada gesekan argumen yang saling terbentur secara intelektual.

Kita mulai dari Tabrani yang mengklaim dirinya sekadar melakukan kritik logis “just about logic”, namun sejak awal tulisannya ia menyebut bahwa dirinya “jatuh cinta” pada gaya naratif Asghar. Ini adalah pengakuan emosional yang kontradiktif dengan posisi objektif yang ia klaim. Kritik yang ingin tampil netral justru menyelipkan preferensi dan posisi ideologis yang tidak diakui. Di sinilah bias implisit bekerja. Dalam istilah Derrida, ini adalah bentuk logocentrism, di mana ‘rasionalitas’ diklaim sebagai pusat yang netral dan objektif, padahal ia sendiri adalah produk dari sistem nilai tertentu.

Kemudian Tabrani menganggap argumen Asghar tentang penderitaan Tidore sebagai bentuk argumentum ad misericordiam. Namun, ia justru gagal melihat bahwa dalam politik identitas dan sejarah pascakolonial, emosi dan memori kolektif bukan sekadar retorika, melainkan bagian dari epistemologi politik lokal. Mereduksi narasi penderitaan menjadi sekadar ‘logika kasihan’ adalah bentuk epistemic violence terhadap cara subjek lokal mengartikulasikan ingatannya. Ini juga bentuk binary opposition antara logika vs emosi, yang secara hierarkis menempatkan ‘logika’ sebagai superior.

Derrida memang mengkritik logocentrism, yakni kepercayaan bahwa ada pusat makna yang stabil, biasanya dalam bentuk rasionalitas, logos, hukum, atau objektivitas. Tabrani menulis dari posisi ini, yaitu bahwa kebijakan publik harus berlandaskan “rasionalitas”, “teknokratis”, dan “efektivitas”. Dalam hal ini, sejarah dan memori dianggap sebagai gangguan emosional terhadap proses itu. Tapi bagi Derrida, tak ada makna yang stabil; setiap “rasionalitas” pun lahir dari konstruksi historis dan relasi kekuasaan. Maka pertanyaan kritisnya adalah: rasionalitas versi siapa?

Tabrani menggiring pembaca pada oposisi biner yang kuat:

Sejarah ↔ Kebijakan

Emosi ↔ Logika

Moral ↔ Operasional

Lokal ↔ Nasional

Dalam oposisi ini, sisi kiri selalu digambarkan sebagai lebih lemah, nostalgik, atau emosional; sedangkan sisi kanan sebagai kuat, rasional, dan valid. Ini sesuai dengan pola hirarkis dalam oposisi biner yang dikritik Derrida. Kritik Derrida menyarankan kita untuk membongkar hierarki ini, dan menunjukkan bahwa “logika teknokratik” pun bukan entitas netral, melainkan produk kekuasaan (misalnya, epistemologi pembangunan nasional).

Tabrani meminta agar narasi historis Tidore tidak digunakan sebagai argumen dalam kebijakan kontemporer, karena dianggap anachronistic. Bila kita meminjam kacamata Derrida, tidak ada garis waktu yang absolut. Différance menunjukkan bahwa setiap makna selalu tertunda dan bergantung pada yang lain. Maka, sejarah tidak pernah selesai; ia terus hidup dalam konteks hari ini. Ketika Tidore menyuarakan sejarahnya, itu bukan nostalgia, tapi bagian dari tuntutan politik kontemporer di tengah rezim Lex Mercatoria (rezim hukum). Karena, menyuruh sejarah untuk diam demi teknokrasi adalah bentuk penghapusan jejak.

Jika saya Asgar maka saya akan bilang; Tabrani seolah berbicara dari posisi rasional dan netral. Tapi ia menulis dari ruang diskursif yang juga memiliki afiliasi ideologis: mungkin afiliasi terhadap pembangunan, terhadap nasionalisme administratif, atau terhadap pendekatan teknokratik. Ia juga menyusun tulisannya dengan gaya akademik yang penuh kutipan, tetapi tidak menyebut satu pun suara dari Tidore, hanya mengkritik representasinya lewat tulisan Asghar. Ia menciptakan aporia, yakni ketegangan dalam teks, antara niat untuk kritis, dan reproduksi kuasa terhadap suara lokal.

Tabrani membandingkan argumen Asghar dengan standar kota-kota seperti Palangka Raya, dengan mengedepankan rekayasa ruang dan komitmen pembangunan. Tapi siapa yang menentukan parameter ideal kota? Siapa yang menyusun indikatornya? Lagi-lagi, Tabrani jatuh pada logika pembangunanisme yang berasal dari cara pandang negara pusat terhadap pinggiran. Dalam dunia pembangunanisme, kota ideal adalah kota yang “berfungsi” menurut kacamata investor, bukan menurut warga yang memiliki sejarah, identitas, dan akar.

Alih-alih membuka ruang tafsir, Tabrani menutup tulisannya dengan konklusi final: “Tidore tidak sedang menuju titik nol.” Ia mengklaim bahwa yang diperlukan adalah keberanian menata masa depan bersama. Tapi bagaimana masa depan bisa dibayangkan kalau masa lalu dilarang untuk dibawa? Klaim ini adalah bentuk penutup makna (closure of meaning) yang oleh Derrida disebut sebagai (“the metaphysics of presence”)keyakinan bahwa kita bisa tahu secara pasti siapa yang benar dan siapa yang keliru. Padahal yang kita hadapi adalah sejarah yang selalu retak, inklusif, dan penuh jejak kekuasaan.

Tulisan Tabrani bukan sekadar kritik logika. Ia adalah reproduksi rezim kebenaran yang mengagungkan teknokrasi, menafikan luka sejarah, dan menertibkan suara lokal agar patuh pada nalar pusat. Ia tidak netral. Ia tidak bebas dari bias ideologis. Ia hanya mengalihkan pusat logika dari Tidore ke Sofifi, dari narasi sejarah ke tata ruang administratif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *