Opini

Kawata dan 16 Desa di Pulau Mangoli dalam Bayang Krisis Sosial-Ekologi: Menolak Ekspansi Tambang, Menjaga Ruang Hidup

112
×

Kawata dan 16 Desa di Pulau Mangoli dalam Bayang Krisis Sosial-Ekologi: Menolak Ekspansi Tambang, Menjaga Ruang Hidup

Sebarkan artikel ini
Warga Desa Kawata sedang melakukan aktivitas bersama di kebun kelapa dan pekarangan pangan lokal. Aktivitas seperti ini menjadi tulang punggung ekonomi dan ketahanan pangan masyarakat desa. Ekspansi tambang yang mengancam ruang hidup mereka berpotensi merusak ekosistem kebun, merampas sumber air, dan menghancurkan nilai-nilai sosial budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Oleh : Aliansi Masyarakat Kawata Tolak Tambang (AMKTT)

 Kendali- Desa Kawata terletak di Pulau Mangoli, Kabupaten Kepulauan Sula—sebuah kawasan pesisir yang kini berada dalam pusaran ekspansi industri ekstraktif, khususnya tambang bijih besi. Wilayah desa ini mencakup 260,97 km² atau 34,10% dari total daratan Kecamatan Mangoli Utara Timur. Dengan jumlah penduduk 1,800 jiwa , Kawata adalah lanskap hidup masyarakat agraris-pesisir: dengan kebun kelapa, cengkeh, pala, sagu, dan ladang, serta hasil laut yang menopang pangan dan ekonomi rakyat. Kawata bukan sekadar ruang geografis, melainkan ruang ekologis dan kultural yang membentuk relasi metabolik antara manusia dan alam.

Namun, ancaman datang dari 10 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang kini membentang di Pulau Mangoli.Dengan total luas konsesi mencapai 83.635,94 hektare, atau sekitar setengah dari luas total Pulau Mangole dan mencakup 16 Desa. IUP ini mendapat legitimasi pada masa kepemimpinan mantan Bupati Kabupaten Kepulauan Sula, Ahmad Hidayat Mus, pada tahun 2014. Di antara semua IUP, salah satu yang paling masif adalah PT Aneka Mineral Utama yang menguasai konsesi seluas 22.535,1 hektare, meliputi tiga kecamatan: Mangoli Timur, Mangoli Utara Timur, dan Mangoli Tengah; serta delapan desa, termasuk Kawata. Proyek-proyek ekstraktif ini mengoyak struktur ekologis yang selama ini menopang hidup masyarakat.

Pulau Mangoli sendiri masuk dalam kategori Pulau Kecil sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2014 (perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 23 ayat (2) UU ini secara tegas menyatakan bahwa pemanfaatan pulau kecil diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, perikanan, dan budidaya laut. Pasal 35 huruf (k) melarang secara eksplisit kegiatan tambang mineral yang merusak ekosistem di pulau kecil.

Bertentangan dengan prinsip hukum ini, proyek tambang justru tumbuh di kawasan lindung, pertanian pangan berkelanjutan, dan hutan rakyat sebagaimana telah diatur dalam Perda No. 3 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Kepulauan Sula. Terdapat kawasan lindung seluas ±17.675 ha di Pulau Mangole, ditambah hutan rakyat seluas 2.000 ha dan lahan pangan berkelanjutan yang tersebar merata. Tambang juga mengancam kawasan sempadan pantai dan sungai yang menurut regulasi harus steril minimal 100 meter dari garis sempadan. Sepuluh IUP ini tumpang tindih dengan semua zona perlindungan itu, jelas melanggar Pasal 17, 18, 25, dan 27 RTRW.

Lanskap Pulau Mangoli dari kawasan pesisir sampai gugus perbukitan hutan alami tersebar sungai-sungai dan kali mati. Data inarisk.bnpb.go.id menunjukkan Wai Eya (air kali besar) di Desa Kawata masuk dalam kategori rawan banjir. Menjadi catatan kritis jika bisnis kotor lewat pertambangan tetap dipaksakan beroperasi di titik rawan bencana maka masyarakat akan terancam menghadapi banjir.

Terbitnya IUP hingga proses survei area di wilayah Desa Kawata menyebabkan segregasi sosial antara pihak yang melayani kehadiran survei tambang dan masyarakat yang menolak. Segregasi ini mengancam keharmonisan masyarakat Kawata.

Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuasaan negara dan korporasi bertindak sebagai agen akumulasi kapital yang menjadikan ruang hidup rakyat sebagai “ruang mati”. Proses perizinan tambang bukan sekadar soal administratif, tetapi ekspresi dari struktur ketimpangan relasi kuasa antara pusat dan pinggiran, antara elite dan rakyat.

Kehadiran tambang akan merusak sirkulasi energi dan materi antara manusia dan alam. Masyarakat Kawata yang selama ini menjaga keseimbangan ekologi lewat pertanian dan perikanan berkelanjutan kini terancam kehilangan tanah, air bersih, dan sumber pangan lokal. Perpecahan antara produksi kapitalistik dan reproduksi ekologi rakyat menimbulkan krisis metabolik yang mendalam: dari hilangnya hutan sagu hingga pencemaran laut sebagai dapur bersama.

Dalam perspektif ekologi kritis, apa yang dialami Kawata mencerminkan logika eksklusi ekologis, yakni bentuk pengusiran masyarakat dari ruang hidupnya demi akumulasi modal. Produksi kapitalistik melalui ekstraksi tambang tidak hanya menghancurkan alam, tetapi juga memutus relasi sosial dan kultural masyarakat dengan ekosistemnya. Kawata menjadi contoh konkret dari bagaimana kapitalisme ekologis bekerja: menjadikan alam sebagai komoditas, dan manusia sebagai tenaga yang dapat dikorbankan. Tambang di Kawata bukan hanya eksploitasi sumber daya, tetapi juga eksploitasi makna hidup, relasi sosial, dan ketahanan komunitas.

Desa Kawata hari ini berdiri sebagai kawasan yang terancam krisis sosial-ekologis dan menjadi panggilan perlawanan terhadap kuasa ekstraktif yang tak mengenal batas sosial maupun ekologis. Membela Kawata berarti membela hak hidup kolektif yang selama ini tersambung erat dengan tanah, hutan, dan laut.

Bertani dan Bertahan di Bawah Bayang Tambang

Bertani di Desa Kawata bukan hanya persoalan pangan, tetapi juga persoalan makna, sejarah, dan keberlanjutan hidup. Dalam lanskap agraris-pesisir yang kaya ini, bertani telah lama menjadi cara masyarakat menyambung tubuh dan tanah, menghidupi keluarga sekaligus merawat warisan leluhur. Namun hari ini, tanah yang diwariskan turun-temurun itu—yang dahulu penuh berkat dan makna—sedang digerogoti oleh logika tambang yang hanya mengenal hitungan ton dan hektar.

Hasil perkebunan kopra Desa Kawata, sekalipun harga jualnya fluktuatif, mampu menjadi sumber penghidupan dan menghasilkan ratusan sarjana, mendukung hajatan desa, serta pembangunan infrastruktur desa. Data statistik menunjukkan produksi kopra di Kabupaten Kepulauan Sula mencapai 30.466 ton/tahun. Hasil yang melimpah ini, jika digarap secara serius, berpotensi besar untuk dikembangkan menjadi produk turunan kopra demi peningkatan ekonomi masyarakat.

Kawata menyimpan banyak nama area perkebunan dan ladang, dan setiap nama adalah penanda sejarah. Kawata Wailal, Nasa Waisum, Waisana Rakib, Wai Sanakam, Leb Eya, Nasa Jara Boya, Wai Saota, Bisau, Hai Batu, Bai Lal, Wai Langka, Wai Fada, Kau Seg, Ma Apa, hingga Banua, Uf Eya, dan Uf Nana—semuanya bukan sekadar lokasi fisik di peta. Itu adalah ruang hidup, ruang spiritual, dan ruang kerja keras para petani yang menanam cokelat, cengkeh, pala, dan kelapa. Setiap pohon di tempat itu punya kisah: ada yang ditanam ayah untuk anak perempuannya, ada yang dirawat selama musim paceklik (masa sulit) dengan air yang dipikul jauh dari sungai, dan ada pula yang berbuah pertama kali tepat pada hari kelahiran cucu. Tanah-tanah itu bukan “aset ekonomi”, melainkan bagian dari hidup itu sendiri.

Kabong (kebun) sebagai sumber pangan masyarakat tak hanya berfungsi dalam sektor pertanian semata, tetapi juga memiliki fungsi sosial dan budaya, seperti walima (gotong royong). Saat ada warga Kawata yang menikah atau meninggal, maka secara sukarela hasil kabong seperti sayur, singkong, dan pisang akan diberikan sebagai tanda rasa kekeluargaan.

Dalam tiap helai daun cengkeh yang gugur di tanah Waisana Rakib, dalam hembusan angin di Wai Fada yang menyapu ladang kelapa, terkandung narasi ribuan jam kerja dan cinta kepada bumi. Itulah sebabnya ketika tanah-tanah itu hendak diganti dengan tambang, masyarakat merasa tak hanya kehilangan ruang bercocok tanam, tapi juga kehilangan jati diri. Tanah bukan sekadar tempat berpijak, melainkan tempat kembali. Dalam filosofi hidup orang Kawata, tanah adalah tubuh yang membesarkan, laut adalah napas, dan hutan adalah penyangga roh.

Namun logika tambang yang merambah hingga kawasan pertanian ini mengancam tatanan tersebut. Truk-truk berat, suara bor dan ledakan, serta pencemaran air akan merusak relasi harmonis antara manusia dan ruang hidupnya. Namun di tengah itu semua, masyarakat Kawata tidak tinggal diam. Mereka bertahan di tanah Wailal dan menanam cengkeh. Mereka tetap mengolah kebun di Nasa Jara Boya, menyadap nira di Bisau, dan menjemur kelapa di para-para ufuk batu Uf Nana. Mereka bertani bukan karena tidak tahu dunia luar, tetapi karena tahu betul bahwa tanpa tanah, tidak ada masa depan.

Kini, setiap lahan menjadi simbol perlawanan. Setiap batang kelapa adalah bendera kedaulatan. Dan setiap biji cokelat yang tumbuh di Wai Langka adalah harapan bahwa anak-anak mereka kelak masih bisa makan dari tanah sendiri, bukan dari upah tambang yang tak seberapa dan tak bertahan lama.

Ladang-ladang di Kawata bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga ruang filsafat kehidupan. Tempat orang belajar sabar dari musim tanam, belajar gotong royong saat panen, dan belajar mencintai tanpa pamrih saat menjaga pohon dari serangan hama. Di sinilah makna sejati bertani—membangun peradaban kecil yang selaras dengan alam dan jauh dari logika perampasan serta eksploitasi.

Maka, mempertahankan tanah-tanah seperti Nasa Waisum dan Wai Sanakam hari ini bukan hanya tentang menjaga hasil tani, tetapi menjaga kehidupan. Ini bukan sekadar konflik lahan, tetapi konflik nilai antara ketamakan modal dan kesetiaan pada bumi. Kawata hari ini adalah tapal batas antara dua dunia, dan masyarakatnya telah memilih untuk berdiri bersama akar, air, dan tanah yang membesarkan mereka.

Fat Kasur dan Rompong, Dapur dan Ruang Sakral yang Terancam

Laut bagi masyarakat Kawata bukan hanya bentang biru tempat mencari ikan, melainkan dapur bersama yang menyambung hidup banyak keluarga. Setiap anak nelayan tumbuh dengan ingatan tentang waktu-waktu subuh ketika perahu didayung menuju Fat Kasur, Fat Tabob, Fat Gawan, Pas Batina, atau Rompong. Nama-nama lokasi tangkapan yang hidup dalam ingatan kolektif dan lisan kampung. Di sanalah hidup digantungkan pada arus, bulan, dan angin, sekaligus dijaga dengan tata kelola yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Fat Kasur bukan hanya tempat memancing, tetapi ruang sunyi tempat orang berdamai dengan hidup. Fat Gawan adalah wilayah migrasi ikan kerapu dan kakap yang selama puluhan tahun tidak pernah gagal memberi hasil. Pas Batina, dengan arusnya yang deras, menjadi tempat nelayan  menggantung harapan. Rompong, alat apung tradisional yang dirancang untuk menarik gerombolan ikan pelagis menjadi simbol teknologi lokal yang ramah lingkungan, jauh dari metode tangkap destruktif. Semua ini menandai satu hal penting bahwa laut di sekitar Kawata adalah ekosistem aktif yang dikelola dengan kearifan dan rasa hormat, bukan sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi tanpa batas.

Namun ancaman itu kini akan datang dari daratan, dari limbah tambang, lumpur merah, dan pencemaran air yang pelan-pelan menyusup melalui sungai dan kanal alami, mengalir ke perairan tempat rompon dan jaring nelayan berada. Jika air keruh mencapai laut, plankton mati, ikan hilang, dan rantai makanan hancur. Dalam skenario terburuk seluruh ruang tangkap itu akan jadi laut mati yang tanpa ikan, tanpa kehidupan, dan tanpa masa depan. Bagi nelayan Kawata, ini bukan ancaman abstrak. Ini adalah ancaman terhadap piring makan mereka, terhadap sekolah anak-anak mereka, dan terhadap martabat yang selama ini dijaga lewat kerja di laut.

Sebagaimana tanah dijaga oleh petani, laut pun dijaga oleh nelayan. Mereka tahu kapan waktu yang baik untuk menebar jaring dan kapan harus berhenti agar populasi ikan tidak rusak. Mereka tahu bahwa laut bukan milik satu orang, tetapi milik bersama, dan bahwa mencemari laut adalah mencemari kehidupan itu sendiri. Karena itu, setiap suara penolakan terhadap tambang yang dilontarkan oleh warga Kawata adalah juga jeritan laut yang tak bisa bicara.

Laut tidak pernah menolak memberi, selama manusia tahu batas mengambil. Itulah sebabnya mempertahankan Fat Tabob dan Rompong dari pencemaran tambang adalah keharusan moral, bukan pilihan teknis. Dalam satu simpul kesadaran, masyarakat Kawata hari ini berdiri sebagai penjaga dua ruang sakral sekaligus yaitu tanah dan laut. Di sanalah harapan tentang masa depan yang adil dan berkelanjutan diletakkan, bukan di meja-meja rapat perusahaan atau dokumen-dokumen konsesi tambang.

Refrensi:

  • UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
  • Perda No. 3 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Kepulauan Sula.
  • IPCC Sixth Assessment Report (2021).
  • InaRISK BNPB (2024).
  • go.id, Kecamatan Mangoli Utara Timur Dalam Angka (2016 ).
  • https://habartimur.com/2022/01/30/ternyata-di-masa-bupati-ahm-setujui-10-iup-operasi-di-pulau-mangoli/

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *