Opini

Drama DOB Sofifi: Antara Gairah Kekuasaan dan Imajinasi Kota Impian

108
×

Drama DOB Sofifi: Antara Gairah Kekuasaan dan Imajinasi Kota Impian

Sebarkan artikel ini
Achmad Rizaldy (LMND Kota Tidore)

                                                        Oleh : Achmad Rizaldy (LMND Kota Tidore)

    Seolah tak ada habisnya, wacana Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi kini memasuki babak baru: babak “siapa paling lantang bersuara, dia yang paling peduli”. Dari warung kopi hingga media sosial, dari status pejabat hingga status WhatsApp keluarga, semua berlomba-lomba menjadi komentator dan “pakar pembangunan”. Bahkan demonstrasi—yang dulunya soal ketimpangan dan kemiskinan—kini berubah jadi perebutan status administratif.

Sikap Pemprov Maluku Utara juga tak kalah teatrikal. Gubernur Sherly Tjoanda (seolah) dengan penuh tanggung jawab menyampaikan keluhan tentang Sofifi sebagai ibu kota yang hanya sebatas kelurahan. Katanya sudah mengadu ke Presiden, Mendagri, dan DPR—seakan negara ini bisa berubah nasib satu kota hanya lewat curhat di meja rapat. Sementara di sisi lain, Pemkot Tidore Kepulauan mengingatkan agar wacana ini dibicarakan sesuai prosedur. Bahkan Walikota Tidore bersumpah serapah bahwa rakyat Oba tak pernah mimpi berpisah dari Kota Tidore. Ah, manis betul narasi cinta daerahnya.

Padahal, keduanya memegang “kunci” yang sama: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sudah jelas menyebut, pemekaran harus disetujui bersama oleh DPRD, kepala daerah induk dan provinsi. Lucunya, yang satu gas pol ke Jakarta, yang satu lagi rem tangan ditarik rapat-rapat. Publik pun bingung: ini tentang pelayanan masyarakat atau tentang ego politik siapa yang lebih berhak menamakan “kota”?

Ironisnya, justru pemerintah yang seharusnya menjaga prosedur malah jadi aktor utama pelanggaran prosedur. Aspirasi masyarakat hanya dipakai jika sesuai naskah. Jika tidak? Ya tinggal diredam saja. Padahal pemekaran katanya demi mendekatkan pelayanan dan kesejahteraan. Tapi kalau melihat realita, pemekaran seringkali hanya mendekatkan proyek pada keluarga pejabat dan menjauhkan pelayanan dari rakyat.

Mari buka data: hanya 22% DOB di Indonesia yang dianggap berhasil. Sisanya? 78% gagal. Termasuk Maluku Utara. Tapi toh semangat “nambah wilayah” tetap digemakan, seakan menambah daftar gagal itu adalah tradisi. Jika Pemprov benar-benar ingin bangun Sofifi, kenapa tidak mulai dari membangun jalan, air bersih, dan jaringan listrik yang tak tersendat-sendat? Atau memang terlalu melelahkan kalau pembangunan tak disertai plakat peresmian dan sesi foto?

Di sisi lain, Pemkot Tidore tak luput dari sorotan. Selama ini daratan Oba sering diperlakukan seperti halaman belakang rumah: disapu sesekali kalau ada tamu. Padahal PAD Tidore juga disumbang dari tanah Oba. Maka jangan kaget kalau warga suatu saat ingin “pindah rumah” dan mengurusnya sendiri. Bukankah itu hak mereka?

Lalu soal definisi kota. Apakah sebuah tempat baru boleh disebut “kota” jika sudah berdiri mal, gedung kaca, dan tugu berbentuk ikan? Kalau begitu, mari kita semua pindah ke Jakarta dan tinggalkan kampung. Kita lupa, kota bukan soal tinggi bangunan, tapi padatnya interaksi sosial, aktivitas ekonomi, dan kapasitas infrastrukturnya.

Sofifi hari ini memang bukan kota dalam makna populer. Tapi juga belum tentu harus jadi DOB untuk disebut kota. Undang-undang pun tak pernah mewajibkan itu. Yang perlu adalah kerja serius, bukan surat usulan pemekaran yang diselipkan di antara nota dinas perjalanan dinas. Kalau Sofifi dikembangkan bersama Kota Tidore dan kabupaten lain, niscaya bisa tumbuh secara alami. Tapi kalau terus dipaksakan jadi DOB demi APBN tambahan, maka benar-benar ironis: Maluku Utara yang katanya punya ekonomi tumbuh tercepat di dunia, tapi minta-minta status untuk bisa bangun kota. Sebuah prestasi yang layak diabadikan dalam lukisan satir.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *