Kendali— Ali Akbar Muhammad, satu-satunya perwakilan dari Maluku Utara dalam Kongres Serikat Petani Indonesia (SPI) ke-V di Jambi, tampil dengan pesan yang tajam: sagu dan pala bukan sekadar komoditas, melainkan simbol perlawanan terhadap kapitalisme pertambangan yang semakin rakus merampas ruang hidup rakyat.
Kongres SPI yang berlangsung pada 20–25 Juli 2025 ini mengusung tema “Menggalang Persatuan Politik dan Ekonomi Kerakyatan untuk Memperjuangkan Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan Menuju Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Ribuan petani dari seluruh nusantara — dari Aceh hingga Papua — berkumpul dalam agenda besar ini.
Kegiatan dibuka oleh Wakil Menteri Koperasi dan dihadiri oleh berbagai pejabat lintas sektor, termasuk staf ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wakil Gubernur Jambi, serta Presiden Partai Buruh. Kongres ini terdiri dari rangkaian acara seperti Musyawarah Pemuda Tani, Musyawarah Perempuan Petani, Musyawarah Koperasi Petani Indonesia, hingga puncaknya Kongres Nasional SPI, yang dihadiri lebih dari 5.000 petani dari jaringan SPI se-Indonesia.
Dalam pameran produk tani, Ali Akbar Muhammad memamerkan sagu dan pala sebagai hasil utama petani Maluku Utara. Ia menegaskan bahwa keduanya bukan hanya hasil bumi, tapi simbol perlawanan terhadap model pembangunan ekstraktif yang merampas ruang hidup rakyat.
“Saya membawa sagu dan pala bukan sekadar untuk dipajang. Ini adalah pernyataan politik. Kapitalisme tambang telah merusak kebun sagu, merampas tanah, dan menghancurkan kehidupan petani. Jika ini dibiarkan, maka tak lama lagi pala pun akan lenyap,” tegasnya.
Lebih jauh, Ali Akbar mengajak petani di Maluku Utara untuk membangun kekuatan sendiri melalui koperasi dan organisasi.
“Saatnya petani bangun koperasi dari bawah, oleh dan untuk petani. Bukan koperasi ala proyek pemerintah. Koperasi dan organisasi petani adalah alat perjuangan untuk mempertahankan hasil tani lokal dan melawan perampasan tanah oleh tambang,” ujarnya.
Tak lupa, dalam forum nasional ini, ia menyampaikan solidaritas penuh untuk perjuangan Masyarakat Adat Maba Sangaji di Halmahera Timur. Ia mendesak pembebasan 11 warga adat yang ditangkap karena mempertahankan tanah leluhur, serta menuntut pemerintah menghentikan aktivitas tambang ilegal oleh PT. Position yang telah menyerobot hutan adat.
“Penangkapan warga adat adalah bukti bahwa negara tunduk pada kepentingan modal. PT. Position harus angkat kaki dari tanah Maba Sangaji. Pemerintah harus berdiri di sisi rakyat, bukan menjadi pelayan korporasi,” tutupnya.