Oleh ; M Ruh –
Kerusakan ekologis hari ini bukanlah sekadar soal, kerusakan ruang hidup, deforestasi atau pencemaran sungai. Kehancuran itu jauh lebih dalam. Bermula dari krisis cara manusia memandang alam. Hutan tidak lagi dilihat sebagai makhluk bernyawa, melainkan sebagai bahan baku.
Laut tidak dianggap sebagai sahabat yang hidup, melainkan sebagai saluran distribusi komoditas. Pandangan ini menjadikan alam sebagai objek mati dan telah mengakar kuat dalam kesadaran modern. Dari sanalah malapetaka ekologis perlahan tumbuh. Banjir bandang. Kekeringan. Tanah longsor. Gempa. Bahkan tsunami. Semua tidak lagi dipahami sebagai bahasa alam yang tersakiti. Melainkan sekadar data bencana.
Filsafat Mulla Shadra membuka pintu bagi manusia untuk membongkar pandangan sempit tersebut. Shadra, dengan “Hikmah Muta”aliyah”-nya, mengajukan satu prinsip fundamental. Segala sesuatu adalah wujud. Dan wujud itu hidup. Dalam pandangannya, realitas bukanlah kumpulan benda kaku yang bisa diklasifikasi atau dikuasai. Melainkan gerak substansial “harakah jawhariyyah” yang terus-menerus menuju kesempurnaan spiritual.
Maka gunung bukanlah bongkahan batu yang diam. Laut bukanlah cekungan air yang pasif. Tanah bukanlah sekadar pijakan kosong. Semuanya adalah makhluk yang sedang bergerak. Memiliki eksistensi. Memiliki kehendak kodrati yang tak bisa direduksi semata-mata pada fungsi material.
Gempa dan tsunami dalam kerangka ini bukan sekadar efek dari pergeseran lempeng tektonik. Melainkan ekspresi dari wujud yang terganggu. Ketika manusia menggali terlalu dalam. Membendung terlalu luas. Mencemari terlalu jauh. Tindakan itu tidak hanya merusak lanskap fisik. Melainkan juga menyalahi tatanan eksistensial. Alam, dalam filsafat Shadra memiliki kehendak untuk mencapai bentuk sempurna, akhirnya menggeliat dan mengguncang. Bahkan mengamuk. Bukan karena murka. Tetapi karena dialog spiritual telah terputus.
Shadra mengajarkan bahwa manusia bukan entitas yang terpisah dari alam. Melainkan bagian dari jaringan wujud yang satu. Ketika manusia menolak mengakui kehadiran batiniah pada makhluk-makhluk di sekitarnya. Maka manusia sedang membangun tembok egosentris yang kelak menjadi liang lahat peradabannya sendiri.
Terlalu lama manusia dididik dalam paradigma Cartesian yang memisahkan subjek dan objek. Pikiran dan materi. Manusia dan alam. Dari situlah lahir sains yang buta nilai. Teknologi yang tak mengenal etika. Dan pembangunan yang tak mengindahkan irama wujud lainnya.
Gempa kerap disebut sebagai bencana. Namun bagi alam, mungkin itu adalah bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap ketidakseimbangan dan eksploitasi. Jika saja manusia kembali memahami bahwa tanah pun bergerak dalam kesadaran kodrati. Bahwa laut pun memiliki kehendak wujudnya sendiri. Maka mungkin akan lebih berhati-hati dalam menggali. Membangun. Dan menambang.
Filsafat Shadra bukanlah romantisme spiritual yang berjarak dari kenyataan. Justru sebaliknya. Ajaran itu mengembalikan kenyataan kepada akar terdalamnya. Bahwa eksistensi itu suci. Bahwa setiap makhluk. Sekecil apa pun. Adalah bagian dari satu gerak spiritual menuju Tuhan. Maka ketika sungai dirusak. Itu bukan sekadar mencemari air. Tapi mengganggu jalan spiritualnya. Ketika hutan digunduli. Itu bukan hanya soal kehilangan karbon. Tapi juga kehilangan harmoni wujud.
Dalam cara pandang ini, menghormati alam bukanlah sekadar etika ekologi. Melainkan laku ontologis. Penghormatan itu lahir karena hidup bersama. Karena manusia adalah bagian dari satu sistem wujud yang sedang bergerak menuju kesempurnaan.
Gempa dan tsunami tidak harus selalu dibaca sebagai tragedi. Bisa juga menjadi kritik dari alam terhadap nalar yang pincang. Jika epistemologi mati yang memposisikan alam sebagai objek terus dipertahankan. Maka bukan hanya kehancuran ekologis yang menanti. Melainkan juga kehampaan spiritual. Itu adalah proses menggali kubur peradaban dengan cangkul pengetahuan yang buta.
Dan selama paradigma yang kita gunakan adalah warisan kolonial yang memisahkan. Mengeksploitasi. Dan mengobjektifikasi. Maka setiap upaya pelestarian hanya akan menjadi tambalan kosmetik atas derita yang lebih dalam. Maka yang kita butuhkan adalah revolusi epistemik seperti yang ditawarkan oleh Shadra. Sebuah cara pandang yang menyatukan wujud dan kesadaran. Tubuh dan jiwa. Manusia dan semesta.
Mari menjaga yang Tersisa