Saloi

Kisah Om Nemo: Pejuang Lingkar Tambang yang Setia pada Perlawanan di Desa Lelilef

24
×

Kisah Om Nemo: Pejuang Lingkar Tambang yang Setia pada Perlawanan di Desa Lelilef

Sebarkan artikel ini
Om Nemo Takuling (keempat dari kiri), tokoh masyarakat Desa Lelilef, bersama pegiat lingkungan, jurnalis, dan aktivis muda dari berbagai komunitas di Maluku Utara. Pertemuan ini berlangsung hangat dan penuh semangat, membicarakan strategi perlawanan terhadap ekspansi tambang yang mengancam ruang hidup masyarakat lingkar tambang.

Kendali- Debu jalanan mengepul ketika kami menembus panas siang dari Sagea menuju Lelilef. Jendela mobil terkatup rapat, tapi dari balik kaca itulah kami menyaksikan bentang alam yang telah lama menjadi ruang hidup masyarakat lingkar tambang—sekarang berubah jadi lajur-lajur industri nikel yang membentang luas. Bersama kawan-kawan pegiat lingkungan, jurnalis, dan influencer, kami mendokumentasikan jejak tambang dan dampaknya: tubuh bumi yang luka, sungai yang perlahan mati, dan wajah-wajah yang sabar.

Tengah hari itu kami tiba di rumah Nemo Takuling—seorang tokoh masyarakat yang telah lama dikenal sebagai suara lantang perlawanan terhadap industri tambang di Weda. Sosoknya bersahaja. Ia menyambut kami di beranda rumahnya, tenang dan hangat. Namun dari matanya memancar keteguhan yang tak bisa ditawar: ia telah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang tambang untuk tahu bahwa diam bukan pilihan.

“Dulu saya dibilang pengacau karena melawan tambang. Bahkan di tanah sendiri, saya seperti orang asing,” ucapnya pelan.
“Teman pun makin sedikit. Tapi saya masih percaya, ada anak-anak muda yang peduli pada tanah moyangnya.”

Sudah tujuh tahun kawasan lingkar tambang dikuasai oleh PT IWIP. Bagi Om Nemo, kehadiran perusahaan raksasa itu bukanlah berkah, tapi beban. Ia menyaksikan perubahan dengan mata kepala sendiri—tanah-tanah adat terjual habis, kebun lenyap satu per satu, dan masyarakat dijanjikan kesejahteraan yang tak kunjung datang.

“IWIP datang, tapi apa yang mereka beri? Pendidikan? Kesehatan? Infrastruktur? Baru satu tahun ini saja terlihat. Tapi mereka sudah lama mengambil segalanya,” katanya getir.
“Mereka takut menyekolahkan anak-anak di lingkar tambang karena takut masyarakat jadi cerdas dan sadar haknya.”

Ia mengaku, semua anaknya tidak ada satu pun yang bekerja di tambang. Baginya, itu soal prinsip dan harga diri.

“Kalau saya melawan tambang, tapi anak saya kerja di sana, lalu harga diri saya di mana? Biarlah hidup sederhana, yang penting tegak berdiri.”

Om Nemo pernah dipenjara lebih dari setahun saat melawan Weda Bay Nickel pada 2008. Tuduhannya: membawa pisau di kawasan industri. Tapi semua tahu, itu hanya dalih untuk meredam suara kritis. Meski di balik jeruji, ia tak gentar.

“Mereka bilang, jangan lawan biar hukum diringankan. Tapi saya tidak mau. Ini soal harga diri.”

Waktu berjalan. Tanah terus berganti tangan. Namun suara Om Nemo tetap nyaring di antara sunyi para warga yang kian terpinggirkan. Ia masih menolak iming-iming. Bahkan saat ditawari jalan-jalan ke Prancis oleh perusahaan, atau dihadapkan dengan tiga koper misterius di Jakarta—semuanya ia tolak.

“Saya sudah cukup. Tidak tergiur. Mental saya sudah ditempa. Perjuangan ini bukan untuk saya sendiri, tapi untuk anak cucu,” pungkasnya.

Hari ini, Om Nemo tetap berdiri di garis depan. Tak gentar, tak tergoyahkan. Bagi kami yang datang, ia bukan sekadar tokoh lokal. Ia adalah penjaga nilai—seorang “penyintas ekologis” yang melawan bukan dengan senjata, tapi dengan keberanian menjaga warisan tanah, hutan, dan laut. Ia adalah semut kecil yang percaya bisa menggulingkan gajah, asal bersama dan setia pada jalan perjuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *