Oleh: Mujais Apling ( Ketua Bidang XI HIPMI – Pendidikan, Riset, Inovasi, Ketenagakerjaan, Kesehatan dan Olahraga )
Tanggal 2 Mei selalu hadir sebagai seremoni nasional dengan upacara, pidato, dan berbagai formalitasyang tampak meriah di permukaan. Namun, di balik gegap gempita tersebut, realitas pendidikan di Maluku Utara justru semakin memprihatinkan. Setiap tahun kita mengenang jasa Ki Hajar Dewantara, tetapi sering lupa untuk menelusuri kembali semangat dan kritik tajam yang dahulu ia lontarkan terhadapsistem pendidikan kolonial. Kita sibuk dengan seremoni, namun enggan berbenah dalam substansi.
Di tengah ketimpangan, stagnasi kurikulum, dan kemiskinan guru, pendidikan kita nyaris tidakmengalami pembaruan berarti. Kita terus mengulang sistem lama yang hanya mencetak barisan panjangpencari kerja, terutama pencari status sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), seolah-olah itu satu-satunyajalan menuju kesejahteraan.
Masalahnya bukan sekadar orientasi yang keliru, melainkan kesadaran yang tumpul. Pendidikan di Maluku Utara telah lama dibiarkan berjalan dalam ruang hampa inovasi. Sejak tingkat dasar hinggaperguruan tinggi, peserta didik digiring untuk patuh pada doktrin formal: rajin sekolah, tamat, lalumencari kerja. Tak heran jika mayoritas pelajar dan mahasiswa di provinsi ini memimpikan menjadi PNS. Bahkan orang tua pun menganggap anak yang sukses adalah anak yang bisa “masuk kerja negeri”. Inibukan salah generasi muda, bukan pula sepenuhnya kesalahan guru. Ini adalah buah dari sistempendidikan yang gagal membaca perubahan zaman dan tak memiliki keberanian untuk mengubahorientasi secara radikal.
Padahal, peluang kesejahteraan terbesar justru bukan di jalur ASN. Maluku Utara memiliki kekayaanalam yang melimpah: hasil laut, pertanian, kehutanan, hingga tambang. Namun kekayaan itu tidakotomatis mengangkat rakyatnya dari kemiskinan. Mengapa? Karena kita tidak mendidik generasi mudauntuk menjadi pelaku ekonomi mandiri. Kita lebih sibuk mencetak ijazah daripada menciptakankemandirian. Kita lebih bangga pada kelulusan daripada kemampuan menghidupi diri sendiri. Padahal, akar dari kesejahteraan adalah kemandirian ekonomi, dan itu hanya bisa dicapai jika pendidikan sejak dinidiarahkan untuk melahirkan wirausahawan—bukan sekadar pegawai.
Sudah saatnya Maluku Utara merombak total arah pendidikannya. Kurikulum kewirausahaan harusditerapkan sejak SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Ini bukan sekadar tambahan pelajaran formal seperti yang sering dilakukan pemerintah, melainkan harus menjadi jiwa dari seluruh proses pendidikan. Anak SD diajak mengenal nilai uang, belajar menabung, dan berdagang secara sederhana dalam kegiatanbelajar. Siswa SMP mulai didorong menciptakan produk dari potensi sekitar. Di tingkat SMA dan perguruan tinggi, siswa dan mahasiswa harus didampingi untuk membangun usaha nyata yang bisadikembangkan.
Ini bukan mimpi kosong. Banyak daerah di Indonesia bahkan negara-negara berkembang telahmemulainya dan berhasil mengangkat kesejahteraan rakyatnya melalui pendidikan berbasiskewirausahaan. Sayangnya, di Maluku Utara, konsep kewirausahaan masih dianggap pelengkap. Paling banter hanya berupa satu mata pelajaran yang tidak pernah menyentuh praktik, atau seminar musimantanpa tindak lanjut. Padahal, akar dari wirausaha bukan terletak pada teori, tetapi pengalaman konkret dan keberanian untuk mencoba.
Sekolah dan kampus kita terlalu takut gagal, terlalu banyak birokrasi, dan terlalu sedikit ruang untukeksperimen kreatif. Di sisi lain, lembaga pendidikan yang seharusnya membuka jalan justru terseret arusformalitas: sibuk mengurus akreditasi, administrasi, dan pelaporan yang kering makna.
Kita juga tak bisa menutup mata terhadap kondisi tenaga pendidik yang semakin terpinggirkan. Di pelosok Halmahera, Bacan, Obi, hingga Morotai, masih banyak guru honorer yang digaji jauh di bawahupah minimum. Mereka mengajar dengan semangat setengah mati, tanpa jaminan kesehatan, pelatihanyang layak, atau penghargaan memadai. Pemerintah daerah masih memandang guru sebagai pelengkapsistem, bukan sebagai ujung tombak perubahan. Lalu bagaimana kita bisa berharap perubahan terjadi jikayang mengajar pun hidup dalam ketidakpastian?
Fasilitas pendidikan juga menjadi sorotan. Di banyak sekolah, bangunan rusak, peralatan laboratoriumtidak ada, buku-buku usang, dan akses internet terbatas. Kita berbicara tentang revolusi industri 4.0, kecerdasan buatan, dan ekonomi digital, tetapi siswa di desa-desa masih belajar di bangku reyot denganpapan tulis penuh coretan. Pendidikan macam apa yang bisa tumbuh dari ketimpangan seperti ini?
Sistem pendidikan kita masih diskriminatif terhadap wilayah, memperlebar jurang antara kota dan desa, antara sekolah unggulan dan sekolah seadanya. Wirausaha tidak akan lahir dari ketimpangan seperti ini. Pendidikan untuk kemandirian membutuhkan infrastruktur yang adil dan akses yang merata.
Tanggal 2 Mei seharusnya tidak menjadi ajang perayaan belaka. Ini bukan soal mengenang sejarah masa lalu, melainkan tentang keberanian untuk mengubah masa depan. Refleksi pendidikan harus dimulai daripertanyaan paling mendasar: pendidikan untuk siapa dan untuk apa? Jika jawabannya adalah untukrakyat, maka pendidikan harus mengakar pada realitas rakyat. Jika jawabannya adalah untukkesejahteraan, maka pendidikan harus menjadi alat untuk membebaskan rakyat dari ketergantunganekonomi.
Pemerintah daerah tidak boleh lagi berpikir normatif. Ini waktunya berpikir transformatif. Sistempendidikan harus diarahkan menjadi kekuatan ekonomi rakyat. Sekolah dan kampus tidak boleh berdirisendiri, melainkan harus terhubung dengan dunia usaha, pasar lokal, dan teknologi digital. Koperasisiswa, inkubator bisnis pelajar, pelatihan produksi lokal, dan platform pemasaran digital harus menjadibagian dari keseharian sekolah. Guru tidak hanya mengajar pelajaran, tetapi menjadi mentor kewirausahaan. Mahasiswa tidak hanya menulis skripsi, tetapi mendirikan usaha riil. Lulusan tidak hanyamencari kerja, tetapi membuka lapangan kerja.
Jika pendidikan terus dijalankan seperti sekarang, kita hanya mencetak generasi yang gelisah. Merekasekolah tinggi, tetapi tak tahu harus ke mana. Mereka punya ijazah, tetapi tidak memiliki daya saing. Mereka cerdas di kelas, tetapi lumpuh di pasar. Pendidikan seperti ini hanya melahirkan frustrasi kolektifyang suatu saat bisa meledak dalam bentuk apatisme sosial atau konflik struktural.
Perubahan harus dimulai sekarang. Hari Pendidikan Nasional tidak boleh lagi dipenuhi dengan jargon usang dan seremoni kosong. Ia harus menjadi hari kesadaran baru—kesadaran bahwa pendidikan harusbergeser dari zona nyaman menuju zona perjuangan. Dari pencetak buruh menjadi pencipta usaha. Dari orientasi negeri menjadi orientasi mandiri.
Maluku Utara punya semua syarat untuk menjadi model pendidikan wirausaha di Indonesia. Potensi lokalmelimpah. Budaya gotong royong masih kuat. Semangat anak muda masih menyala. Yang dibutuhkanhanya satu: keberanian politik. Keberanian untuk melawan sistem lama yang mandul. Keberanian untukmenyusun kurikulum baru yang membebaskan. Keberanian untuk membela guru, memperbaiki sekolah, dan membiayai perubahan dengan sungguh-sungguh.
Dan itu semua hanya bisa terjadi jika kita, rakyat Maluku Utara, mulai bersuara lebih keras. Mulaibertanya lebih tajam. Mulai mendesak lebih gigih. Karena pendidikan bukan urusan pejabat semata. Pendidikan adalah hak kolektif yang menentukan arah sejarah kita. Kita harus merebut kembali maknapendidikan—menjadikannya alat pembebasan, bukan alat penjinakan.
Jika kita masih percaya bahwa pendidikan bisa mengubah nasib, maka kita harus berani mengubah wajahpendidikan kita sendiri. Dan perubahan itu harus dimulai hari ini. Bukan besok. Bukan tahun depan. Tapisekarang juga. (*)