Muhammad Yudis – IKPM HT Yogyakarta
Kampung, dalam pandangan manusia modern, kerap dipersepsikan sebagai wilayah yang tertinggal—terpinggirkan. Label-label seperti kumuh, biang rusuh, udik, norak, atau naif, dengan enteng dilekatkan pada kampung dan warganya. Padahal kampung bukan sekadar tempat, melainkan ruang hidup, ruang budaya, dan ruang kebenaran yang tak pernah diajarkan di gedung-gedung tinggi kota. Hari ini, kampung kembali menjadi panggung utama dalam cerita besar ketimpangan dan ketidakadilan yang dipertontonkan terang-terangan.
Kampung diserbu atas nama investasi. Digusur demi kepentingan modal. Dirampas ruang hidupnya oleh korporasi dengan restu penguasa. Lalu, ketika masyarakat kampung bangkit mempertahankan tanah leluhurnya, mereka dicap kriminal. Mereka yang menjaga hutan dianggap penghambat pembangunan. Mereka yang menyuarakan haknya diciduk, dibungkam, diintimidasi.
Di mana hati nurani kalian, para pemilik kuasa? Apa tak terdengar jerit pilu dari tanah yang kalian renggut?
Hari ini, kampung tak lagi sunyi. Ada 612.863 jiwa yang hidup dan bergulat dalam hiruk pikuknya. Persoalan bertumpuk—peperangan agraria, kemiskinan struktural, pelanggaran HAM, demokrasi yang sekadar prosedur. Kampung tak lagi jadi tempat bernaung dengan damai, tapi medan tempur antara kepentingan rakyat dan kerakusan elite. Di sanalah, aparat datang bukan membawa keadilan, tapi membawa ketakutan.
Dan yang paling memilukan: ada yang hilang dalam kampung kita hari ini. Fitrah kemanusiaan telah tertukar dengan materialisme yang membutakan. Kebenaran digeser, hukum disulap menjadi alat kekuasaan. Nilai-nilai yang dulu menjadi pegangan bersama, kini dilecehkan atas nama ‘izin’, ‘prosedur’, dan ‘investasi strategis’.
Lihat saja apa yang terjadi pada 18 Mei 2025 di wilayah konsesi PT. Position. 27 orang masyarakat adat ditangkap tanpa prosedur hukum yang jelas. Mereka hanya ingin mempertahankan tanahnya—tanah yang selama ini menjadi sumber hidup, sumber identitas. Namun mereka diseret, dianggap pelanggar hukum, padahal yang melanggar keadilan justru mereka yang mengabaikan suara rakyat.
Hukum yang seharusnya jadi alat keadilan, kini hanyalah formalitas. Para cerdik pandai justru menjadi corong kekuasaan. Mereka yang katanya “pejuang rakyat”, nyatanya memperdagangkan penderitaan rakyat demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Sementara itu, masyarakat terus berjuang dengan tenaga yang tersisa, demi sesuap nasi dan martabat yang tak bisa dibeli.
Kami, masyarakat adat, hanya ingin mempertahankan apa yang menjadi hak kami. Hak untuk hidup layak. Hak atas tanah warisan leluhur kami. Dan kepada para pemangku kebijakan, kami bertanya:
Di mana peran Pemerintah Provinsi Maluku Utara?
Di mana suara Pemerintah Daerah Halmahera Timur?
Di mana keberpihakan Pemerintah Desa Sangaji?
Di mana solidaritas kampung-kampung adat lainnya di Halmahera Timur?
Semua telah terang-benderang. Kejahatan dan kemunafikan para elite tak bisa lagi ditutup-tutupi. Kami menuntut dengan suara yang jelas:
Hentikan seluruh aktivitas pertambangan yang merusak sumber hidup masyarakat adat.
Cabut izin pinjam pakai kawasan hutan yang diklaim sepihak sebagai milik negara.
Adili seluruh bentuk kekerasan dan represivitas aparat kepolisian terhadap warga.
Bebaskan tanpa syarat 27 orang masyarakat adat yang kini ditahan di Polda Maluku Utara.
Kampung bukan ruang kosong yang boleh dijarah. Ia adalah rumah kami, sejarah kami, dan masa depan anak cucu kami. Kami tidak akan diam.
Dari kampung kami bersuara. Dari kampung kami melawan.