News

Disbudpar Tidore Tanggapi Isu Pemindahan Waktu Ritual Paji Nyili-Nyili

85
×

Disbudpar Tidore Tanggapi Isu Pemindahan Waktu Ritual Paji Nyili-Nyili

Sebarkan artikel ini
Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tidore Kepulauan Daud Muhammad

kendali – Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Tidore Kepulauan, Daud Muhammad, menanggapi isu yang berkembang di tengah masyarakat terkait pemindahan waktu pelaksanaan ritual paji nyili-nyili yang sebelumnya dilakukan pada malam hari, kini menjadi siang hari, pada Hari Jadi Tidore KE 917 ( HJT ).

Dalam keterangannya, Daud menjelaskan bahwa perubahan waktu tersebut merupakan bagian dari penyesuaian terhadap konteks dan kebutuhan perayaan hari jadi Tidore, tanpa mengurangi makna ritual yang sarat akan nilai sejarah dan spiritualitas.

“Rangkaian kegiatan peringatan hari jadi ini meliputi berbagai ritual budaya, mulai dari ritual Ake Dango, Ratib Haddad, Lufu Kie, Paji Nyili-Nyili, dan pameran UMKM,” ujar Daud.

Ia menyebut, dulunya paji nyili-nyili dilaksanakan pada waktu subuh, sebagai simbol dari perjuangan Sultan Tidore yang beristirahat di Cobo setelah peperangan. Saat itulah, dikeluarkan sebagai pertanda bahwa revolusi telah terjadi. Pelaksanaan ritual tersebut menandai bahwa peperangan telah dimulai dan diakhiri.

Namun, lanjut Daud, pelaksanaan pada subuh hari menyulitkan masyarakat untuk menyaksikan prosesi secara langsung. Oleh karena itu, ritual tersebut kini dilaksanakan pada hari Jumat siang tanggal 11 April, sekitar pukul 14.00 WIT, agar lebih mudah disaksikan masyarakat sekaligus menambah kemeriahan perayaan.

“Patokannya tetap sama, hanya waktunya yang disesuaikan. Dulu Sultan istirahat di Cobo sekitar jam enam pagi, dan itu sudah bisa dikatakan siang. Kami ingin masyarakat tahu bahwa ritual ini bukan hanya seremoni, tetapi sarat makna perjuangan,” katanya.

Daud juga menambahkan, perubahan tersebut juga dipengaruhi oleh efisiensi anggaran. Di masa lalu, ritual ini melibatkan perjalanan dari kelurahan ke kelurahan, serta pembacaan Bobeto atau Borero Gosimo, yang memerlukan anggaran cukup besar. Kini, prosesi dilakukan menggunakan mobil dari empat titik utama: Gurabunga, Rum, Jiko Cobo, dan Maregam, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai simboliknya.

“Kegiatan proses ritual paji nyili nyili dilakukan dengan menggunakan Mobil dihias dan membawa beberapa orang Adat. Kalau Dulu menggunakan pakaian adat, sekarang seluruh peserta mengenakan pakaian putih dan ikat kepala putih sebagai simbol kesucian dan persatuan,” jelasnya.

Peserta dari Rum,Mare, Gurabunga dan Jikocobo masing-masing membawa 15 orang perwakilan, ditambah pengiring. Semuanya berkumpul di titik temu di Kelurahan Soasio Depan Kadaton Tidore, lalu berjalan bersama-sama dalam satu kesatuan iring-iringan.

Daud menegaskan bahwa perubahan waktu ini tidak mengurangi nilai spiritual dan magis dari ritual tersebut. “Tidak ada masalah apakah dilakukan subuh, siang, atau malam. Yang terpenting adalah substansi ritualnya tetap terjaga. Ini hanya bentuk penyesuaian, bukan penghilangan makna,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *