Opini

Potret Demokrasi Kita

57
×

Potret Demokrasi Kita

Sebarkan artikel ini
Ariyanto A. Gani (Kader HMI Komisariat Non-Eksakta Cabang Tidore).

Oleh: Ariyanto A. Gani
(Kader HMI Komisariat Non-Eksakta Cabang Tidore)

Kendali – Akhir-akhir ini, diskursus tentang demokrasi selalu menjadi topik hangat di berbagai kalangan, baik akademisi, aktivis mahasiswa, birokrat, praktisi, maupun politisi. Demokrasi yang seharusnya menjadi landasan pemerintahan dalam bernegara, belakangan ini banyak dikebiri dan diselewengkan oleh mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan.

Dalam buku Teori-Teori Demokrasi karya Muslim Mufti, dijelaskan secara gamblang mengenai konsep demokrasi. David Beetham dan Kevin Boyle dalam buku tersebut menyatakan bahwa demokrasi merupakan khazanah dalam pengambilan keputusan secara kolektif. Demokrasi berusaha mewujudkan prinsip bahwa keputusan yang memengaruhi kelompok secara keseluruhan harus diambil oleh semua anggota dengan hak yang sama dalam pembuatan keputusan. Dengan kata lain, demokrasi menjadi wadah bagi rakyat untuk mengontrol setiap kebijakan dan keputusan yang diambil oleh pemerintah. Abraham Lincoln bahkan mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Namun, apakah roda demokrasi di Indonesia saat ini masih sejalan dengan prinsip demokrasi yang sesungguhnya? Ataukah sudah dikebiri dan menyimpang jauh dari koridor idealnya? Freedom House dalam Freedom in the World 2020 mengategorikan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang “bebas sebagian” (partly free). Sementara itu, The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam Democracy Index 2020: In Sickness and in Health menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 secara global dan peringkat ke-11 di regional Asia dan Australia dengan kategori “demokrasi cacat” (flawed democracy).

Melihat dua kategori tersebut, jelas bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Masalah ini semakin kentara saat pemilu, pilkada, maupun dalam perjalanan roda pemerintahan. Raihan Ariatama dalam bukunya Memenangkan Demokrasi menguraikan beberapa persoalan yang menjadi “virus” dalam demokrasi di Indonesia. Menurut saya, masalah-masalah ini turut berkontribusi terhadap rendahnya indeks demokrasi kita. Beberapa masalah tersebut antara lain populisme, perbedaan pendapat yang berujung konflik, oligarki, korupsi, politik uang, dan ketimpangan.

Problem dalam Demokrasi Indonesia

Pertama ialah Populisme, populisme merupakan penyakit berbahaya bagi demokrasi. Dalam pendekatan populisme, politik dimainkan dengan menekankan gagasan dan tujuan kepada rakyat biasa yang dianggap murni dan benar, sambil membenturkan rakyat dengan para elite. Pemimpin populis kerap berlagak membela rakyat tertindas, padahal tujuan mereka hanya untuk meraih kekuasaan. Lebih parahnya, populisme cenderung menolak perbedaan, yang bertolak belakang dengan demokrasi yang menjunjung pluralitas dan humanisme. Dalam pesta demokrasi, populisme sering diselimuti isu agama, ras, dan suku.Kedua, Perbedaan Pendapat yang Berujung Konflik. Perbedaan pendapat seharusnya menjadi hal yang wajar dalam demokrasi. Namun, perbedaan yang didasarkan pada kebencian dan saling menyerang justru menjadi ancaman bagi demokrasi. Fenomena saling melempar ujaran kebencian dan pencemaran nama baik, baik di media daring maupun luring, sering berujung pada kriminalisasi dan perpecahan sosial. Ketiga, Oligarki. Oligarki sudah menjadi istilah yang akrab dalam perpolitikan Indonesia. Oligarki adalah upaya sekelompok elite menguasai negara dan pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Fenomena ini sering dikaitkan dengan dinasti politik, seperti keluarga Cendana, dinasti Jokowi, dinasti Kasuba di Maluku Utara, serta dinasti Mus.Keempat, Korupsi dan politik uang. Korupsi dan politik uang adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Para kandidat yang menggunakan politik uang dalam kontestasi demokrasi memiliki kecenderungan besar untuk melakukan korupsi guna mengembalikan modal politik mereka. Praktik ini menjadikan demokrasi sebagai ajang “gali lubang, tutup lubang,” di mana kepentingan rakyat terpinggirkan oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Kelima, Ketimpangan Sosial dan Ekonomi. Dalam demokrasi yang ideal, keadilan sosial dan ekonomi harus merata sesuai dengan sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Namun, kenyataannya, kesenjangan semakin melebar. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin tertindas.

Potret Buram Demokrasi di Indonesia

Selain persoalan di atas, belakangan ini demokrasi kita juga dicoreng oleh berbagai tindakan represif aparat terhadap kebebasan berpendapat. Salah satu kasus yang mencuat adalah pembungkaman grup musik punk Sukatani karena lagu mereka yang mengkritik oknum kepolisian. Lagu Bayar Bayar Bayar, yang menggambarkan keresahan masyarakat terhadap praktik korupsi aparat, malah berujung pada pemanggilan klarifikasi dan penarikan lagu dari media sosial. Bahkan, Novi Citra Indriyani, vokalis Sukatani, dipecat dari pekerjaannya sebagai guru dengan alasan mengumbar aurat—meskipun banyak yang menduga keputusan tersebut dipengaruhi tekanan pihak tertentu.

Kasus lain yang tidak kalah miris adalah kekerasan terhadap seorang wartawan Tribun Ternate oleh aparat Satpol PP saat meliput aksi “Indonesia Gelap” di Kota Ternate. Padahal, jurnalis merupakan salah satu pilar demokrasi yang berperan dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Tanpa jurnalis, masyarakat akan kehilangan akses terhadap informasi yang objektif.

Jalan Keluar

Memperbaiki demokrasi yang telah rusak bukanlah hal yang mudah, tetapi bukan berarti mustahil. Raihan Ariatama dalam bukunya menawarkan konsep demokrasi humanis sebagai solusi. Demokrasi humanis dijalankan tanpa kekerasan dan berupaya menciptakan narasi tandingan di ruang publik untuk melawan propaganda pemerintah yang merugikan rakyat. Selain itu, penting untuk membangun partai politik alternatif yang benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat.

Dalam sistem demokrasi perwakilan, partai politik berperan sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan. Sigmund Neumann dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik karya Miriam Budiardjo menyatakan bahwa partai politik adalah alat untuk mencapai kekuasaan. Jika partai politik dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin demokrasi yang lebih humanis dapat terwujud.

Namun, saya juga berpendapat bahwa sebaik apa pun sistemnya, jika pemimpinnya buruk, maka sistem tersebut akan tetap bobrok. Oleh karena itu, masyarakat harus lebih cerdas dalam memilih pemimpin saat pemilu. Untuk meraih tatanan demokrasi yang lebih baik, diperlukan kerja sama antara pemerintah, rakyat, dan sektor swasta.

Demokrasi yang sehat bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai warga negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *