oleh : Teguh Tidore ( Pegiat Literasi Tidore )
Menelusuri Tidore itu seperti memasuki ruang laboratorium yang sarat misteri, tempat kita diajak untuk mendekat dan menyelami lebih dalam. Selain sejarahnya yang kaya, Tidore menyimpan jejak kebudayaan masa lampau yang penuh dengan catatan tua. Catatan-catatan ini sering kita temukan, baik di buku-buku tebal yang berdebu di perpustakaan maupun di layar ponsel kita saat berselancar di internet. Namun, kali ini saya tidak akan menulis tentang sejarah Tidore secara keseluruhan, sebab itu bukan kapasitas saya. Yang ingin saya sampaikan adalah sebuah cerita, sebuah gambaran yang terfokus pada salah satu bangunan bersejarah di Tidore. Sebab, apalah arti sejarah jika tidak mampu menghidupkan masa depan.
Sebagai anak negeri yang lahir dan besar di Tidore, sudah sejak lama saya ingin menuliskan tentang bangunan bersejarah yang menjadi saksi peristiwa masa lalu. Bagaimana kita mengenal dan mendekatinya? Dalam tulisan ini, saya ingin berfokus pada bangunan Eks Kediaman Gubernur Irian Barat. Bangunan tua ini memiliki nilai sejarah yang tak ternilai. Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin Syah, yang menjabat dari tahun 1947 hingga 1967, bangunan ini memiliki peran penting dalam upaya perebutan kembali Irian Barat.
Sejarah Singkat Sultan Zainal Abidin Syah
Namun, terlepas dari peran sejarah bangunan ini, ribuan katalog dan tulisan telah banyak mengulas kiprah Sultan Zainal Abidin Syah. Meski demikian, kita perlu lebih dekat mengenal sosoknya, memahami dedikasi dan perjuangannya, serta menyadari bagaimana peranannya telah meninggalkan jejak yang begitu dalam, tidak hanya bagi Tidore tetapi juga bagi sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Pada tanggal 17 Agustus 1956, Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Provinsi Perjuangan Irian Barat dengan ibu kota sementara di Soa-Sio, Tidore. Keputusan tersebut diambil oleh Presiden Soekarno dengan alasan bahwa Papua serta pulau-pulau sekitarnya merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore sejak ratusan tahun lalu. Sultan Zainal Abidin Syah kemudian ditetapkan sebagai Gubernur sementara Provinsi Perjuangan Irian Barat pada tanggal 23 September 1956 di Soa-Sio, Tidore, melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 142 Tahun 1956, tanggal 23 September 1956.
Selanjutnya, sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 220 Tahun 1961, tanggal 4 Mei 1962, ia ditetapkan sebagai gubernur tetap Provinsi Irian Barat. Dalam kapasitasnya sebagai gubernur, Sultan Zainal Abidin Syah juga diperbantukan pada Operasi Mandala di Makassar dalam rangka Trikora, perjuangan pembebasan Irian Barat.
Sultan Zainal Abidin Syah memegang jabatan sebagai gubernur Irian Barat hingga tahun 1961. Setelah itu, beliau menetap di Ambon hingga wafat pada tanggal 4 Juli 1967. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kapahaha, Ambon. Namun, pada tanggal 11 Maret 1986, pihak keluarga Kesultanan Tidore memindahkan jenazah Sultan Zainal Abidin Syah ke Soa-Sio, Tidore, dan disemayamkan di Sonyine Salaka (Pelataran Emas) Kedaton Kie Soa-Sio, Kesultanan Tidore.
Perjalanan Sultan Zainal Abidin Syah memberikan pengaruh besar terhadap kebudayaan dan sejarah. Ia menjadi bagian penting dari pengakuan sejarah tertulis, menunjukkan bagaimana beliau mampu mengintervensi dan mendiplomasi, sehingga Irian Barat memiliki hubungan erat dengan Tidore pada masa itu. Peninggalan sejarah Irian Barat tidak hanya tercatat dalam dokumen, tetapi juga terlihat pada bangunan-bangunan artefak yang melekat dalam memori masyarakat Tidore.
Pertanyaannya, sejauh mana kita mengenal perjalanan Tidore dalam kaitannya dengan pengaruh Irian Barat? Tentu, alasan ini bukan semata-mata untuk mencari pengakuan sejarah oleh negara, melainkan untuk membangun perspektif yang lebih mendalam terhadap narasi sejarah yang berkelanjutan. Salah satu bukti nyata adalah peninggalan eks bangunan Irian Barat yang masih berdiri di tengah-tengah kota sebagai kawasan strategis. Misalnya, Kantor Gubernur Irian Barat yang kini berfungsi sebagai Sekolah SMA 1 Tidore Kepulauan. Tidak jauh dari situ, terdapat kantor Polsek Tidore yang dahulunya merupakan eks kantor kepolisian pada masa tersebut. Selain itu, bangunan rumah-rumah perwira kepolisian yang berada di dua kelurahan, Indonesiana dan Tuguwaji, hingga kini masih ditempati oleh satuan Kepolisian.
Memori kolektif yang hadir kemudian tertuju pada bangunan tua eks Kediaman Rumah Irian Barat. Secara arsitektur, bangunan tersebut memiliki kemiripan dengan rumah-rumah modern pada zaman Belanda. Jendela-jendela berkaca tersusun tiga, bentuk rumah dengan teras depan yang mengelilingi bangunan, serta sirkulasi udara yang nyaman menjadi elemen yang menarik perhatian saya. Betapa Sultan Zainal Abidin Syah pada masanya mampu memberikan pertimbangan dan pengaruh besar terhadap Tidore. Dalam beberapa catatan, kedatangan Soekarno ke Tidore juga menjadi bagian penting dari diplomasi yang menghubungkan Tidore dengan Papua. Diplomasi inilah yang kemudian membawa wilayah Papua menjadi bagian dari pengakuan NKRI. Semua itu tidak terlepas dari peran Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, bersama Sultan Zainal Abidin Syah.
Ada tiga opsi yang dipertimbangkan saat itu: mendirikan negara sendiri, bergabung dengan Belanda, atau bergabung dengan Indonesia. Sultan Zainal Abidin Syah memilih bergabung dengan Indonesia, dengan syarat Tidore mendapatkan hak istimewa yang setara dengan Yogyakarta dan Aceh ketika Indonesia telah merdeka. Perjalanan panjang ini memberikan kekuatan historis yang menjadi bukti nyata pengakuan dalam sejarah yang tertulis.
Namun, kesadaran terhadap ruang sejarah seringkali hanya terpatri dalam bangunan yang kehilangan makna. Betapa hal ini mencerminkan kurangnya kepedulian bersama terhadap warisan budaya (heritage) Tidore yang belum dimanfaatkan secara optimal. Tiga kali Pemerintah Tidore mengusulkan Sultan Zainal Abidin Syah menjadi pahlawan nasional, namun upaya tersebut berakhir gagal karena lemahnya koordinasi. Seharusnya, ini menjadi bagian dari evaluasi terhadap narasi sejarah kita yang masih lemah, atau barangkali menunjukkan kecenderungan budaya kita yang apatis.
Pada tahun 2021 dan 2022, ketika pemerintah pusat datang untuk melihat bangunan Irian Barat yang masih utuh, seharusnya momen tersebut menjadi kesempatan yang baik. Namun, entah mengapa hingga kini hasil yang diharapkan belum juga tercapai.
Working Space ( Aktivasi Ruang ) Eks Kediaman Irian Barat
Pernah, saya bersama beberapa komunitas di Tidore memanfaatkan rumah eks kediaman Sultan Zainal Abidin Syah sebagai ruang inkubator. Ruang ini menjadi bagian dari master plan pembangunan ekonomi kreatif di Tidore. Kami menjadikan tempat itu sebagai simbol titik transit para pelaku sejarah dan peneliti pada tahun 2022 hingga 2023. Awalnya, semuanya berjalan baik dengan adanya berbagai aktivitas: kedai kopi, pajangan arsip sejarah berupa foto-foto masa Tidore di era Irian Barat, hingga ruang diskusi. Sayangnya, hal ini tidak bertahan lama. Hak kepemilikan dan status rumah yang masih menjadi bagian dari warisan keluarga Sultan Zainal Abidin Syah menyebabkan bangunan tersebut kembali kosong.
Saat dikelola komunitas, eks Kediaman Gubernur Zainal Abidin Syah sempat menjadi “nyawa” bagi keberlanjutan gerakan komunitas kreatif di Tidore. Namun, seperti banyak cerita lainnya, tempat itu akhirnya hanya menjadi kenangan yang ditelan usia. Setelah komunitas berhenti berkegiatan di sana, bangunan sempat diambil alih oleh KAHMI. Tetapi, pengelolaan itu pun tak berlangsung lama, hingga akhirnya rumah tersebut kembali terbengkalai. Kini, menurut beberapa informasi, bangunan itu telah dibeli oleh Pemerintah Kota Tidore. Tinggal menunggu keputusan: mau diapakan bangunan ini?
Substansinya bukan sekadar soal bangunan tua. Lebih dari itu, ini tentang kesadaran terhadap ruang. Bagaimana para pemangku kebijakan serta pelaku seni dan budaya dapat mengembangkan kawasan bekas ibu kota Irian Barat ini menjadi warisan sejarah yang hidup. Sebuah artefak budaya yang relevan, tidak hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk membangun masa depan sejarah dan kebudayaan Tidore.
Atau yang sering kita kenal dalam bahasa sejarah sebagai living museum, konsep ini sebenarnya mengundang banyak refleksi. Dalam beberapa tahun terakhir, Tidore sejatinya telah menunjukkan kesanggupan untuk menghadirkan aktor-aktor sejarah yang mampu memberikan kesadaran terhadap ruang. Namun, hingga hari ini, dinamika kekuasaan tampaknya belum cukup selaras dengan nilai-nilai sejarah. Nostalgia sejarah hanya menjadi payung perlindungan tanpa disertai kolaborasi nyata yang dapat membangkitkan keberlanjutan ruang bersejarah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghadirkan sebuah analogi diskursus yang mampu memulihkan ruang-ruang ini ke dalam keberlangsungan sejarah yang relevan dengan konteks masa kini.
Minimnya pemanfaatan ruang kebudayaan telah menjadikan narasi lokal sering terbengkalai. Arsip-arsip sejarah hanya terpajang sebagai teks tua yang tersimpan di sudut ruangan, tanpa kehidupan. Padahal, jika kita memahami cara pengelolaan yang tepat untuk mengaktifkan ruang secara berkelanjutan, bangunan-bangunan bersejarah dapat dihidupkan kembali sebagai tempat yang memiliki “nyawa”. Berdasarkan pengalaman saya selama terlibat dalam aktivasi ruang—mulai dari eks Kantor Gubernur Irian Barat, eks Kediaman Sultan Zainal Abidin Syah, hingga upaya pemetaan—saya yakin bahwa berbagai karya yang memiliki nilai bagi generasi mendatang dapat ditemukan dan dikembangkan melalui ruang-ruang ini.
Kurangnya edukasi lintas sektor antara pemerintah dan penggerak budaya telah menjadi salah satu kelemahan kita. Fokus kita masih terlalu terpusat pada nilai sejarah yang bersifat masa lalu, padahal justru di sanalah fondasi peradaban diciptakan. Saya melihat, sejak tahun 2020, ketika Sultan Zainal Abidin Syah dicanangkan menjadi pahlawan nasional, berbagai seminar nasional di Jakarta digelar, namun hingga kini hasilnya belum terlihat jelas. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah dan masyarakat belum memiliki skema sejarah yang dapat dinikmati oleh khalayak luas. Berbagai diskursus hanya berputar pada pembahasan yang kemudian kembali berhenti tanpa solusi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sejarah kita belum berhasil dihidupkan kembali untuk masyarakat. Artinya, kita masih minim ide dan edukasi yang mampu mengangkat nilai-nilai kekayaan lokal.
Tidore sebenarnya memiliki aset sejarah yang luar biasa: museum bawah laut, benteng-benteng peninggalan Spanyol, Kedaton Kesultanan, bangunan peninggalan Irian Barat, hingga posisinya sebagai pintu gerbang utama sejarah rempah-rempah seperti cengkeh dan pala. Nilai penguatan ini sudah sangat kuat. Dua kali Presiden Soekarno bertamu ke Tidore, namun ironisnya, patung megah Soekarno justru berdiri di tengah Kabupaten Morotai. Hal ini menunjukkan bahwa aset sejarah dan kebudayaan Tidore perlu diangkat sebagai nilai tawar yang strategis. Kejayaan Tidore yang begitu besar tampaknya mati suri di era sekarang. Banyak bangunan bersejarah terbengkalai, salah satunya adalah eks kediaman Gubernur Irian Barat yang tidak terurus. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang kuat untuk menjawab tantangan ini dan menghidupkan kembali warisan sejarah Tidore bagi generasi mendatang.
Solusi Kota Living Museum
Sejarah harus hidup dan berkembang. Sebuah kota dapat terus hidup ketika mampu menerjemahkan narasi sejarahnya sendiri dan menghidupkan keanekaragaman budayanya. Tidore, dengan segala keunikannya, tidak kalah menarik dibandingkan kota-kota lain di Indonesia yang kuat dengan sejarah budayanya. Untuk menjawab tantangan ini, kita membutuhkan sesuatu yang disebut sebagai “solusi kota living museum”—sebuah pendekatan alternatif untuk menghidupkan ruang sejarah. Saya membayangkan aktivasi ruang eks kediaman Sultan Gubernur Irian Barat bisa menjadi wadah solusi ini. Tempat ini dapat berfungsi sebagai laboratorium komunitas yang mengakomodasi berbagai latar belakang, identitas, dan ide kreatif.
Bayangan saya mengarah pada sebuah ruang kreatif hub yang mampu menghubungkan semua sektor dalam pendekatan hexsahelix untuk bersama-sama mencari solusi kota. Kita bisa membayangkan tempat ini menjadi bagian dari transformasi kota dan ruang. Berdasarkan informasi yang ada, bangunan eks kediaman Gubernur Irian Barat telah dikembalikan kepada pemerintah daerah. Ini membuka peluang untuk membicarakan langkah konkret mengenai pemanfaatan kembali tempat tersebut.
Menurut hemat saya, bagaimana jika bangunan itu tidak diubah arsitekturnya? Cukup diperbaiki beberapa bagian seperti atap dan pintu yang mulai rusak tanpa merusak wajah asli rumah tersebut. Bangunan ini kemudian bisa dijadikan tempat berkumpul bagi para pegiat komunitas lintas sektor untuk membicarakan solusi kota. Di dalamnya dapat dihadirkan perpustakaan, arsip sejarah, kedai kopi, ruang belajar, tempat diskusi, workshop, pemutaran film, hingga kalender kegiatan komunitas.
Pemerintah Kota Tidore Kepulauan perlu merespons gagasan ini. Dalam beberapa pertemuan yang diadakan bersama pemerintah kota, saya melihat langkah ini belum menjadi keberlanjutan—entah karena belum ada regulasi yang jelas atau kurangnya koneksi perspektif terhadap aktivasi ruang tersebut. Saat ini, pemerintah masih terlihat menggunakan pendekatan lama, bekerja secara terpisah tanpa penyesuaian dengan praktik komunitas. Sebagai contoh, dinas terkait seperti Bappeda yang bertugas merumuskan RJMD (Rencana Jangka Menengah Daerah) tampaknya belum mampu mengintegrasikan visi dan misi kota secara menyeluruh.
Slogan “Tidore Jang Foloi” (“Tidore itu Indah”) memunculkan pertanyaan: apa yang dimaksud dengan “indah”? Bagaimana keindahan itu dirumuskan? Kita tidak boleh menafsirkan keindahan kota hanya berdasarkan infrastruktur, tetapi juga dengan membangun perspektif ekonomi kreatif (ekraf) di dalamnya. Misalnya, apa alasan orang harus datang ke Tidore? Apa yang bisa dimaknai dan diriset untuk menjadikannya nilai tawar? Saya menawarkan gagasan untuk melibatkan komunitas secara aktif melalui kalender kegiatan, musyawarah rencana pembangunan komunitas (musrenbang komunitas), atau forum diskusi kelompok terarah (FGD). Kreativitas adalah jantung komunitas, sedangkan regulasi, aturan, dan pokok pemikiran berada pada pemerintah dan DPRD. Oleh karena itu, pemerintah harus menjembatani ide-ide komunitas dalam merumuskan masa depan Kota Tidore.
Maka, komunitas memiliki peran penting dalam menghidupkan kota. Salah satu komunitas yang cukup lama membangun aktivasi ruang kota di Tidore adalah Wildhouse Prod, Meus, Syukur Dofu-Dofu, Rumah Saban, Gekrafs, dan masih banyak komunitas di kampung-kampung yang turut menghidupkan ruang mereka. Saya pernah terlibat dalam berbagai aktivasi ruang di Tidore bersama komunitas, dimulai dari program kementerian Kemendikbudristek melalui Dirjen Kebudayaan, dalam pembuatan film dokumenter dan diskusi ruang kota. Kemudian, pemerintah dengan segudang prestasi, seperti menjadi tuan rumah Sail Tidore dan Hari Nusantara, semestinya sudah bergerak lebih jauh dengan pemahaman lintas sektor.
Branding Tidore: Mau Jadi Apa?
Seharusnya, kita sudah menemukan jawabannya tentang alternatif kota, seperti yang sudah saya singgung dalam tulisan ini. Cerminan suatu kota haruslah mencerminkan kewarasan lintas sektor, yang mampu legowo pada ide kreatif—bukan sekadar bernostalgia dengan program-program lama, melainkan membuktikan bahwa narasi kota adalah wadah yang hidup. Oleh karena itu, untuk memulai semua ini, kita memerlukan yang namanya branding kota. Tidore dikenal dengan berbagai julukan: Kota Seribu Masjid, Seribu Jin, Kota Santri, Kota Terbersih, Kota Titik Nol Jalur Rempah, Kota Budaya—terlalu banyak branding yang melekat, sehingga fokus kita menjadi terbagi-bagi. Mulai dari musyawarah rencana pembangunan (musrembang) kelurahan hingga penyusunan RKPD, bahkan RPJMD, yang terpatron dengan pendekatan yang masih belum mengarah pada alternatif yang jelas.
Kita memerlukan narasi berkelanjutan, yaitu pemanfaatan ruang. Bagaimana jika pemerintah lebih transparan dan legowo, sementara komunitas berperan sesuai dengan fungsi ekonomi kreatifnya? Maka, tujuan kita akan bertemu dalam upaya memperbaiki solusi kota. Tulisan ini setidaknya ingin meluruskan arah kebijakan pembangunan kota yang tepat. Saya yakin, jika pemerintah dan komunitas memiliki misi yang sama, terlepas dari kepentingan politik, banyak hal dapat dilakukan bersama. Di satu sisi, komunitas yang bergerak lintas sektor juga mampu merumuskan kegiatan yang sejalan dengan pemerintah.
Beberapa komunitas di Tidore pernah menawarkan konsep branding untuk kota ini, namun hingga kini belum memenuhi syarat. Menurut saya, narasi yang ada masih belum cukup kuat, dan argumentasi yang dibangun belum menimbulkan freemind yang selaras dengan visi misi pemerintahan.
Kita sudah mulai dan membuktikan bahwa komunitas di Tidore mandiri dan mampu memberikan kontribusi terhadap daerah. Lahirnya bonus demografi semestinya sudah dijemput oleh lini sektor, mengingat peran pemuda sangat penting di tengah kemajuan teknologi yang terus berkembang. Oleh karena itu, pemerintah perlu berpikir lebih jauh ke depan dan tidak terjebak dalam lingkaran birokrasi yang monoton.
Residensi Pertukaran Seni Berkelanjutan
Selama kurun waktu 2021-2024, saya mendampingi beberapa seniman dan peneliti dalam menulis naskah riset mengenai aktivasi ruang di Tidore. Mulai dari bangunan bersejarah, museum, benteng, hingga nama jalan para pahlawan dari Tidore, semuanya telah dimasukkan dalam freem visual yang dipotret. Bayangkan saja, salah satu peneliti saya yang meriset disertasi S3 di Swiss menulis tentang nama jalan. Tidak hanya itu, nama kelurahan Indonesiana, Gereja Maranatha, juga menjadi bagian dari penelitian. Bahkan, seorang seniman residensi dari Palu menulis tentang Emiria Soenassa, pelukis perempuan pertama Indonesia yang berasal dari Tidore. Mereka semua menjadikan riset sebagai bagian dari bangunan bersejarah yang hidup, semacam artefak yang hidup di hari ini. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membangun satu database untuk mendukung ekosistem ini, seperti ruang kreatif Hub sebagai tempat singgah bagi para peneliti, pelancong, atau pekerja seni yang memperkenalkan Tidore ke dunia.
Residensi seni adalah bagian dari nilai tawar yang berkelanjutan. Tidak perlu banyak jika pemerintah mampu menakar itu. Maka, eksekutif dan legislatif seharusnya tidak hanya fokus pada pembangunan regulasi dan perjalanan dinas dari tahun ke tahun yang tidak memberikan dampak besar pada wajah kota. Pertukaran residensi dan pengembangan ekosistem ruang bisa dijelaskan lebih lanjut oleh para aktor seni. Kita membutuhkan kesenian bukan hanya sebagai karya kreatif, tetapi juga sebagai studi dan gambaran bagi wajah baru pemerintah dan Kota Tidore di masa mendatang.
Penggalan Akhir
Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa apa yang sudah kami buat sebagai komunitas untuk Tidore juga perlu mendapat respons dari pemerintah, dan apa yang sudah dilakukan pemerintah, kami juga bisa memberikan respons yang tetap positif. Kritik adalah pijakan untuk diskursus yang sehat di masa mendatang. Tidore sudah indah, dan setiap orang yang pernah berkunjung ke Tidore pasti merasakannya. Namun, narasi yang sering digunakan pemerintah Tidore, bahwa kota ini tidak memiliki tambang dan hanya bergerak di sektor barang dan jasa, pertanian, perikanan, dan pariwisata, merupakan peluang yang harus kita kejar. Seperti yang dikatakan teman saya, kita tidak perlu sama dengan kota lain, tetapi kita harus bisa menjadi pembeda di antara kota-kota lain di Indonesia.
Tidore telah tercatat dalam sejarah sebagai peradaban kota tua yang berpengaruh besar. Namun, kita jangan hanya terjebak dalam euforia masa lalu. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana kita menghadapi tantangan sejarah itu agar bisa hidup dan memberikan nilai tambah bagi kota ini.
Bangunan Eks adalah salah satu contoh yang perlu kita soroti bersama. Saya merasa sedikit pesimis karena forum yang telah dibangun selama ini hanya menjadi sarana yang tak lebih dari tumpukan kertas. Sebagai angin segar, forum itu tidak memberikan kesadaran kolektif. Kita perlu memulai dari riset, menulis, dan merumuskan langkah konkret. Jika tulisan ini sampai kepada pemangku kebijakan, saya yakin kita sudah mampu merumuskan pemikiran bersama untuk membangun solusi kota yang lebih baik. Saya yakin semua ini bisa terwujud jika pemerintah membuka kesadaran kolektif dan menjembatani berbagai pihak untuk bekerja sama. Komunitas sudah selesai dengan proposalnya dan harus merubah gaya berkreativitas dengan karya-karya yang bisa diterima dunia.
Sebagaimana pernah dikatakan oleh Mantan Dirjen Kebudayaan, Hilman Farid, dalam podcastnya: “kita perlu mencatat sejarah hari ini, melindungi, merespons tata kelola yang baik, dan yang paling penting, menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan, dan menjaga identitas. Dengan demikian, kita akan menemukan rumusan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan melalui kebudayaan.”
Pemerintah sudah saatnya membuka kaca mata lama dan menggantikannya dengan perspektif baru. Kolaborasi antar kebijakan sudah saatnya diterapkan dengan pola interaktif. Tidak seharusnya ada ruang riset yang bisa meningkatkan setiap ide dalam merumuskan ruang kota. Jika bangunan Eks kediaman Sultan Zainal Abidin Syah justru diserahkan kepada pihak yang hanya mementingkan kepentingan diri sendiri, saya yakin Tidore tidak akan pernah berubah dengan pola kebijakan yang ada. Kita hanya berputar dalam retorika kosong yang tidak memberikan dampak signifikan.
Keapatisan dan keterbatasan ruang gerak kita tidak memberikan pengalaman baru. Pemerintah dengan gaya birokratiknya, komunitas dengan kreativitasnya, menjadikan peta ruang Kota Tidore seolah sebuah museum tua yang hanya menjadi objek penelitian. Kita membutuhkan penyegaran dan pemahaman yang lebih mendalam bahwa masih ada banyak yang bisa diperbaiki. Jika pemerintah benar-benar memahami model kolaborasi, maka kota ini akan bergerak menuju arah yang lebih baik.
Satu pertanyaan yang sering muncul di benak saya adalah, apa yang membuat orang tertarik untuk datang ke Tidore? Selain konser SLANK atau musim durian, pala, atau cengkeh, dalam data terakhir, kunjungan wisatawan manca negara ke Tidore bahkan tidak mencapai 10 persen. Artinya, kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang bisa dirumuskan bersama oleh kebijakan pemerintah dan pekerja kreatif, serta edukasi tentang karya dan ruang kota. Jika ini saja belum diperhatikan, Tidore hanya akan tetap dikenal sebagai nama dalam buku sejarah. Ketertarikan saya menulis ini adalah karena kita terlalu merasa berjasa atas prestasi, padahal itu belum apa-apa jika melihat kenyataan di lapangan mengenai kebudayaan dan sejarah Tidore. Semoga. (*)
Catatan : Tulisan di tulis sebelum Rumah Eks Kediaman Gubernur Irian Barat di renovasi sekitar bulan Juni-Juli Tahun 2024.