Rampa-rampa

Saya Berpikir Maka Saya Ada

122
×

Saya Berpikir Maka Saya Ada

Sebarkan artikel ini

Oleh : Miraj Maghfirah – Penulis Lepas ( Suka Berpikir )

kendali – Kalimat ini amat terngiang di kepalaku. Aku ragu maka aku berpikir, aku berpikir maka aku ada. Sejak dulu, sering banget dengar penggalan kalimat filsuf asal Perancis ini. Masalahnya, yang beredar dan amat sering dikutip orang banyak tuh cuma bagian “cogito ergo sum”nya aja, gitu. Menariknya, sejauh aku hidup, aku juga sering mengutip kalimat ini. Saking se-masuk-akal itu. (itu pun jika se-masuk-akal adalah kata yang benar adanya).

Berpegang dengan penggalan akhir kalimat ini, aku selalu mencoba memvalidasikan pikiranku sendiri. Jadi, ya. Segala pemikiranku lah yang menjadikanku hidup. Tapi, bukan berarti aku tidak akan hidup jika aku tak berpikir, yah. Semacam, aku mempertanyakan hal yang sama hidupnya denganku. Rumput yang bergoyang, angin yang meniupnya, udara dingin yang dibawanya, kemana arah ia bertiup, hingga memicu overthinking soal angin yang kemudian jadi bencana, memporak-porandakan kota tempat tinggalku, membawa ranting pohon dan baliho caleg yang kemudian menghantam pejalan kaki dan/atau pengendara motor, mobil, dan bentor yang berlalu-lalang.

Masalahnya adalah, mau sejauh apa kita akan memikirkan persoalan “berpikir” ini? Karena, ramai dan hiruk-pikuk isi pikiranku tak kalah dari keramaian macetnya jalanan di Ibukota. Mobil pribadi, transum, motor pribadi, ojek online, ojek non-online, dan ojek online tanpa pakaian ojek online. Beramai-ramai mereka dengan lampu kendaraannya yang beragam warna pula, menyala di waktu petang saat hari kerja. Apa artinya? Ya. Waktu yang sangat sibuk, waktu orang-orang berlomba-lomba tiba di rumah sepulang kerja. Macetnya jalan tidak memetak-metak kan ini kendaraan apa, tipe apa, warna, jenis mesinnya, asal plat nomornya, siapa yang mengendarai, pekerjaan mereka, kerja di mana, hingga apakah yang berkendara sudah memiliki pasangan atau belum?

Isi pikiranku se-beragam-macam itu. Tidak ada sekat yang memisahkan jenis pikiran dan apa yang kupikirkan. Uniknya, otak kita tidak diprogram untuk bisa membeda-bedakan dan bersikap diskriminatif terhadap isi kepala kita. Semuanya aja diembat dan dipikirin! kurang lebihnya begitu. Semakin kita tumbuh dan dipupuk dengan pendidikan di lingkungan kita, semakin kita bisa memerintah otak kita sendiri. Kita pun bisa memilah tentang apa yang mau dipikirkan, sejauh apa hal itu mau dipikirkan, dan bagaimana kita menyikapi hal tersebut. Bahkan, terkadang ada bilah pikiran yang tak turut dijadikan sebuah sikap.

Berpuluh-puluh tahun hidup dengan pegangan saya berpikir maka saya ada, ternyata cukup melelahkan. Seakan-akan otak ini tidak ada diam dan matinya. Kecuali pas tidur. Tapi, pernahkan kalian saat tidur dan tiba-tiba terbangun pun, ada aja yang dipikirin? Pasti pernah dengar dong kalimat ga bisa tidur karena lagi banyak pikiran. Padahal, obatnya hanya semudah memilih untuk tidak memikirkan hal itu! Tapi, namanya manusia dengan segala kemanusiaan dan manusiawinya dia, tidak memilih untuk sejenak mematikan tombol aktivasi pikirannya. Bukankah itu normal? Kurasa iya.

Tapi, berbekal mengetahui kalimat saya ragu maka saya berpikir, saya berpikir maka saya ada, aku dapat dengan mudah mengubah cara berpikirku. Jadi, saya ada karena saya meragukan suatu hal, bukan? Karena aku ragu akan sesuatu, aku kemudian memilih untuk berpikir. Yang kupikirkan mungkin mencakup mencari tahu apa hal yang meragukan itu. Dari manapun sumbernya. Pada era digital ini, semuanya bisa dengan mudah diakses dan dicari tahu keabsahannya. Berbekal merasa ragu, aku kemudian mengulik, menggali dan menyantap sebanyak mungkin pengetahuan yang telah disajikan.

Karena ragu, aku menggali informasi apakah angin sepoi-sepoi yang menggoyangkan rumput dengan lantunannya yang lembut, cukup untuk memporak-porandakan sebuah kota? Mencabut baliho caleg dari tanah dan menimpa masyarakat lugu yang lewat? Logikanya sih, gak mungkin yaa. Kemudian, jikalau memang ada angin kencang yang berencana melintasi kota tempatku tinggal dan dengan marah mencabut baliho bertuliskan janji-janji manis itu, pasti sudah lebih dahulu diumumkan oleh pihak berwajib.

Karenanya, meragukan sesuatu dan memikirkan hal tersebut memicu adanya sekumpulan aksi yang merupakan rangkaian sebab-akibat. Jika angin sepoi itu tidak akan menjadi malapetaka, maka aku bisa dengan santai mengendarai motorku dan melintasi jalanan di pantai, sembari menikmati tiupan angin yang mesra. Jalan-jalanku pun lebih nikmat, dong? Karena gak perlu overthinking soal baliho caleg yang nantinya merusak motor mahalku ini.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Rampa-rampa

Kendali — Saya percaya Tidore itu banyak tempat…