oleh : Teguh Tidore – Penulis Lepas Suka Minum Coklat
kendali – Hari ini 17 Agustus 2024 kita merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke 79 Tahun, umur yang tidak lagi mudah. Maka pertanyaannya adalah apakah kita sudah merdeka? Dan apa makna kemerdekaan itu. Saya menuliskan tulisan ini di kamar kecil di pojok rumah tua Indonesiana, tidak ada bendera yang naik di halaman rumah, bendera pelangi maupun Merah-putih. Dan itu sudah berlangsung 3 tahun terakhir.
Tulisan ini hanya sebuah kegelisahan yang lahir dari narasi subjektif. Tidak ada menekan kepada siapapun melainkan memberikan catatan tentang jalan pikiran seorang penulis. Saya mencari bendera merah-putih di rumah tua namun tidak ditemukan, dan akhirnya hingga puncak hari ini bendera merah putih belum juga saya kibarkan di halaman rumah. Bisa jadi bendera merah putih itu tidak ada yang memperdulikan, atau justru saya belum berani mengibarkan, tetapi yang menjadikan saya harus berpikir keras adalah ke mana bendera merah putih selama ini.
Kemungkinan telah terbawa oleh berbagai kesombongan, atau justru dimakan oleh tikus-tikus yang tersembunyi di lemari-lemari kamar. Saya bertanya kepada adik, kenapa belum menancapkan merah putih halaman rumah, sementara hari ini sudah 17 Agustus, semua masih sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Maka kemerdekaan itu belum juga saya temukan di halaman rumah tua, akhirnya simbol dari warna-warna kemerdekaan itu, saya letakkan pada perjalanan kita masing-masing, sebuah analogi yang saya gambarkan melalui keadaan di rumah tua. Rumah tua itu belum merdeka, penghuninya sedang bekerja membelikan seragam anak untuk bisa sekolah.
Maluku Utara barangkali juga sebuah rumah tua, yang sedang diberikan banyak catatan, sumber kekayaan alam; kehidupan sosial masyarakat lingkar tambang misalnya, juga menjadi bagian dari ancaman sosial, mungkinkah kemerdekaan ada di sana? Dalam kesempatan hari ini, di halaman beranda youtube milik watchdoc Documentary betapa bahaya lingkungan kita dimasa mendatang. Hari ini kita merasa aman saja, karena halaman rumah kita masih bisa untuk kita bersihkan. Tetapi jika urut satu-satu negeri sedang sakit; Gubernur Malut terjerat Kasus korupsi. Skenario pemilihan kepala daerah yang kita hadapi beberapa bulan kedepan, memberikan dampak yang tidak mudah, mengutip satu kutipan dari sahabat saya ‘’pemimpin itu rezeki masyarakat’’ jika pemimpin yang hanya mementingkan nasib dan dapurnya sendiri, maka negeri ini sedang dalam kehancuran, dan aroma itu sudah mulai kita rasakan.
Ketika memasuki momentum kemerdekaan, saya selalu membuka kembali narasi pahlawan yang perlu saya bacakan untuk perjuangan mereka. Hal ini untuk kita kembali merefleksikan perjuangan. Kita bukan sekedar mengedepankan nasionalisme tetapi juga memahami energi kepahlawanan yang sudah membawa bangsa menuju pintu gerbang kemerdekaan. Maka kemerdekaan mana yang kita maksudkan, semestinya kemerdekaan itu bukan hanya lahir dari simbol-simbol dan atribut. Melainkan proses perjuangan tidak yang mudah. Saya merespon bagaimana sahabat saya Adlun Fikri di dalam film dokumenter Dandhy Dwi Laksono tampil sebagai salah satu anak muda yang sedang merespon kampung halamanya Sagea- Halmahera Tengah, Maluku Utara, melalui pameran mobil listrik di Jakarta, di dalam film dokumenter tersebut, adlun dipotret merespon bagaimana eksploitasi tanah kelahirannya, tanah mereka tumbuh bangunan pertambangan yang tak terkendali. Sementara transisi kontras dengan bagaimana mobil-mobil canggih itu menampakan kecanggihan. Sebuah gambaran oligarki memerankan kesenjangan sosial di kampung-kampung. Mobil-mobil mewah itu hanyalah wajah kerusakan alam di kampung-kampung, terutama mereka yang hidup dengan nuansa lingkar tambang. Dalam sebuah poster kecil di pameran mobil listik adlun menuliskan ‘’Hentikan Operasi PT Weda Bay Nickel di Wilayah Das Sage, Pulihkan dan Lindungi Sungai Sagea’’ Potret adlun adalah sebuah arus balik dari kesadaran sosial masyarakat yang minim.
Kita justru sedang dalam ancaman, determinisme akan berdampak pada hukum alam, secara kausalitas bahwa siapa yang berbuat sebab maka akan melahirkan akibat. Dan itu sebuah kepastian mutlak. Tanda-tanda sudah terjadi; kesenjangan sosial, banjir di lingkar tambang, hingga hujan menjadi lautan air, keserakahan manusia justru tercermin dari dinamika sosial masyarakat; misalnya di Halmahera Tengah, dalam beberapa bulan belakangan desa-desa lingkar tambang mendapatkan bencana banjir yang merusak pemukiman warga akibat resapan air dari gunung, yang tidak bisa dibendung akibat aktivitas penambangan. Video-video beredar di halaman sosial media kita masing-masing, dan tontonan itu kita bisa melihat dari berbagai tempat dimanapun. Potret itu justru memberikan satu pelajaran bahwa kita ini sedang tidak baik-baik saja.
Maka narasi kemerdekaan itu hanyalah milik mereka yang berkuasa, atau milik siapa? Kita akan sampai pada satu tujuan dan bertanya, apakah kita sudah merdeka, merdeka seperti apa dimaksud??
Saya justru bertanya kembali. Bahwa bendera merah putih yang tersimpan di lemari itu, memang benar, telah dimakan oleh tikus, dan anehnya tikus hanya merobek merahnya saja dan sementara putih dari bendera itu masih terlihat utuh, barangkali tikus juga memahami, kita memang berani di bangsa sendiri, tapi bisa jadi, negeri ini sudah lama kehilangan orang-orang jujur. Di beranda rumah tua, ke mana kemerdekaan itu??