Kendali – Bencana banjir yang terus terjadi dan semakin meningkat di sekujur tubuh Halmahera, seharusnya menjadi pelajaran bagi manusia yang berakal. Kita sudah seharusnya melacak kembali sudut pandang kita terhadap alam, hubungan kita dengannya, dan paradigma pembangunan kita selama ini.
Apakah alam semesta sebenarnya? Apakah arti tanah, air, laut, sungai, gunung, bukit-bukit, dan pohon bagi kita? Apakah ia hanya susunan benda mati? Ataukah kita salah dalam memahaminya selama ini?
Apabila kita melihat ke dalam warisan budaya dan tradisi kita sendiri, kita temukan beragam cerita dan filosofi yang sangat mengagumkan tentang keharmonisan manusia dan alam. Bahkan keduanya adalah satu kesatuan kehidupan yang tak terpisahkan.
Misalnya, untuk menyebut beberapa contoh saja, ritual Paca Goya di Tidore, tradisi Orom Sasadu dan Sigofi Ngolo di Jailolo, tradisi Paka Kie di Moti, tradisi Padi Orang Tobaru, tradisi Sigofi Ake di Ternate, dan juga orang Tobelo Asli O’Hongana Manyawa menyebut hutan dan alam sebagai orang tuanya. Semua cerita seperti ini terdapat hampir di setiap kampung. Cerita tentang kesatuan hidup manusia dan alam.
Namun, apakah yang sebenarnya terjadi ?
Bencana alam yang terus berlangsung adalah penanda yang nyata dari terputusnya hubungan manusia dan alam. Dalam sejarah kita, keterputusan itu telah dimulai sejak 500 tahun yang lalu. Ketika kolonialisme Eropa mulai menginjakkan kakinya di tanah Maluku. Kolonialisme Eropa membawa cara pandang baru terhadap alam. Alam dilihat sebagai objek, komoditi, barang jualan, dan jalan untuk menumpuk kekayaan. Hubungan manusia dengan alam pun mulai berubah, menjadi hubungan eksploitasi, ambisi, dan hasrat materi. Rempah-rempah pun menjadi komoditi utama yang setara dengan emas. Kolonialisme ratusan tahun itu menyumbang pembengkakan modal dengan jumlah yang luar biasa besar untuk kemakmuran negeri-negeri Eropa. Sekaligus bencana bagi negeri-negeri setempat. “Habis manis, sepah dibuang”, seperti kata pepatah.
Sialnya, keterputusan hubungan manusia dan alam tak berhenti ketika Indonesia merdeka. Namun terus berlanjut dari satu rezim ke rezim yang lain sampai saat ini. Kata “pembangunan” dan diksi “kemajuan” menjadi sihir yang ampuh, suatu cara pandang yang didukung oleh berbagai teori di sekolah, mirip dengan cara pandang kolonialisme: alam sebagai objek eksploitasi dan jalan untuk “baku rebe jadi orang kaya”.
Lalu sampai saat ini, mulai bercokol wilayah-wilayah investasi tambang nikel dalam skala besar di sekujur tubuh Halmahera. Wilayah-wilayah ini dengan cara pandang dan perilaku yang sama, masih terus memutuskan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Bahkan dalam skala yang lebih luas dan tempo yang lebih cepat. Model ekstraktif tambang ini adalah cara hidup paling merusak dan menghancurkan yg pernah ada dalam sejarah umat manusia.
Pertanyaan kita adalah, apakah tidak ada cara lain yang lebih keren dalam membangun kehidupan, selain merusak dan memutus hubungan yang harmonis antara manusia dan alam yang akan mendatangkan berbagai bencana dan malapetaka ?
Dengan terputusnya hubungan harmonis antara manusia dan alam, yang terjadi bukan hanya bencana alam, namun juga secara berangsur-angsur, merubah hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya. Tatanan sosial saat ini pun telah menjadi semacam “ring tinju”. Di mana setiap orang saling bersaing dan saling menjatuhkan untuk menumpuk kekayaan materi dan citra diri. Setiap orang terlatih untuk melihat orang lain sebagai objek bukan subjek, sebagai saingan, sebagai barang dagangan, dan sebagai objek eksploitasi. Hubungan manusia dengan manusia pun berubah menjadi hubungan komoditi.
Dan yang paling mengerikan sejak 500 tahun keterputusan itu, manusia pun mulai terasing dengan dirinya sendiri. Dia mulai melihat dirinya sendiri sebagai sebuah komoditi, dia pun mulai menerka-nerka berapa nilai jual dirinya di hadapan pasar, dan mendefinisikan dirinya sendiri sebagai “aku adalah barang dagang yang harus kujual”. Keterasingan ini memunculkan beragam penyakit mental dan kerentanan jiwa yang sangat rapuh.
Dalam situasi seperti ini, kita akhirnya perlu kembali melihat dan menimbang-nimbang apa yang ada dalam warisan kebudayaan dan tradisi kita. Namun, hal yang sama pun terjadi. Kita telah menjadi demikian terputus dan terasing dengan tradisi warisan leluhur itu. Kebudayaan dan tradisi kita telah dipandang sebagai barang dagang yang akan dijual sebagai paket pariwisata.
Hubungan kita dengan warisan leluhur tersebut pun telah berubah menjadi hubungan komoditi dan eksploitasi. Tarian, baju adat, ritual adat, dan lain sebagainya masih terus dilakukan, namun bukan nilai dari berbagai tradisi dan ritual itu yang hendak kita maknai dan kita resapi, melainkan citra komoditas darinya yang gampang dikemas dijual untuk kepentingan eksploitasi. Sehingga pemandangan yang unik pun terjadi, kita melihat orang banyak menggunakan baju adat dan melaksanakan ritual adat, tapi perilaku luhur dan nilai kearifan dari adat itu sendiri sudah tak ada lagi di sana. Dia telah lama terputus.