Kendali — Beberapa hari ini saya mencari informasi terkait dengan Gereja Maranatha yang sekarang tinggal kenangan, tidak ada yang tersisa selain bangunan tembok gereja sisi barat dan utara, tidak ada lagi bangunan yang tertinggal dari Gereja Maranatha, sekarang sudah berganti wajah menjadi bangunan kantor Kejaksaan Negeri Tidore Kepulauan, yang berlokasi di kelurahan Indonesiana, Rt.001- RW.001.

Arsitektur bangunan di bangun oleh Abdul Kader Hamzah.
Foto: Arsip Rumah Tua Indonesiana.
Dalam tulisan Andreas Harsono November tahun 2005, menuliskan secara singkat soal Gereja Maranathan, dalam tulisanya; Ini gereja satu-satunya di Tidore. Ia dibangun pada awal 1960an ketika Tidore dijadikan ibukota sementara Irian Barat. Saat itu banyak sekali orang berkantor di Tidore. Gubernur Irian Barat adalah Zainal Abidin Syah, yang juga merupakan sultan Tidore ke-35 (1947-1961). Waktu itu, banyak sekali orang datang ke Soasiu ( Soasio ) untuk bekerja dalam kampanye Irian Barat. Zainal Abidin pun mengganti nama daerah dimana banyak pendatang tinggal dari “Goto” menjadi “Indonesiana.” Sesudah Zainal Abidin, Tidore tak mengangkat sultan baru hingga tahun 1999, ketika pada salah satu puncak ketegangan Ternate-Tidore, diangkatlah Sultan Jaffar Syah sebagai sultan ke-36. Bambang Muhammad bilang ketika gereja Maranatha dihancurkan pada 3 November 1999, “Malam itu kita tidak kenal orang-orang,” kata Bambang.
Bekas gereja ditumbuhi rumput tinggi. Tempat salib sudah patah. Tidore kini tak punya satu gereja pun. Malam itu, orang-orang membunuh sembilan orang Kristen serta mengusir semua orang Kristen dari Tidore (800 orang). Namun Bambang bilang bisa diterima untuk bangun “gereja ini lagi.” Menurut Muhammad Amin Faaroek, seorang tetua Tidore, baik orang Kristen maupun orang Islam, sama-sama membangun gereja Maranatha. Faaroek banyak cerita soal sejarah Tidore. Dia juga bicara soal malam dimana semua orang Kristen diusir dari Tidore dan Pendeta Arie G. Risakotta dibunuh. Gara-garanya, ada surat palsu dari Gereja Protestan Maluku soal rencana pengusiran orang-orang Islam dari Pulau Halmahera. “Tandatangannya saya kenal bukan Pendeta Sammy Titaley,” kata Faaroek. ( Tulisan Andreas Harsono )
Kesaksian Masyarakat Indonesiana
Nama gereja Maranatha mengalami beberapa kali perbaikan ketika di bangun pada tahun 1960, ketika penulis mewancarai Abdul Kader Hamzah orang juga ikut adil dalam pembanguan gereja, Kader bilang gereja ketika itu mengalami keterhambatan pembangunan, lalu kemudian waktu ketika masih bekerja di salah satu balai PU jaman itu, kemudian kami mendesain dengan gambar mengikuti beberapa arsitektur gambar yang lebih mirip gereja-gereja di Eropa.
Bentuk gereja yang kami gambar karena mengikuti sesuai dengan ajaran trinitas teologi kristen yang berarti kekal dalam hakikat Allah yang Esa, dengan posisikan gambar segi tiga, ‘’gambar itulah akhirnya di bangun hingga konflik agama terjadi pada tahun 1999, ‘’kata Abdul Kader yang juga mantan anggota dprd kota Tidore.
Pengalaman tentang Gereja Maranatha juga pernah diceritakan oleh Pak Yunus seorang Polisi, beliau punya kenangan pada saat itu, tentang Gereja Maranatha, melalui akun Facebook ketika penulis merespon Arsip Gereja Maranatha dia bercerita; torang sangat rindu akan kehidupan di jaman itu, Setiap hari Minggu pagi sudah terdengar bunyi lonceng yang bertanda memanggil umat kristiani untuk melaksanakan ibadah dan bunyi lonceng itu saling bersahutan antara gereja Maranatha yang sekarang sudah menjadi kantor Kejaksaan Tidore dan dua gereja lagi yang berada di kelurahan tanah abang yang sekarang sudah dibangun rumah penduduk.
Sungguh sebuah keharmonisan yang terbangun di saat itu sangat indah. Andaikan kalau tidak ada konflik horizontal saat itu mungkin wajah pulau Tidore tidak seperti sekarang ini. Walau kehidupan kami dengan mereka sudah terpisah, namun selalu dekat dihati. Kami rindu jaman itu. Semoga ada yang bisa menggagas kembali dan pertemukan kami dengan mereka dalam bentuk pertemuan akbar anak Indonesiana pangge pulang,’’ungkap Yunus.
Dalam beberapa catatan gereja Maranatha, merupakan gereja Protestan di bawah sinode GPM, berdiri sekitar tahun 1960-an, dan melakukan beberapa kali renovasi, Gereja Maranatha, Memiliki Luas bangunan cukup besar, bahkan halamannya dipenuhi bunga-bunga indah, pada waktu itu menjadi salah satu aikon tempat spot foto yang indah, penulis punya memori kecil pada waktu itu, gereja Maranatha menjadi tempat cukup indah untuk bermain di setiap minggu pagi, teman-teman kami umat kristiani selalu bepergian untuk Ibadah.
Namun pada akhirnya konflik sara ( agama ) tahun 1999 mengakibatkan semua dengan sendirinya hilang dalam sejarah. Pada saat konflik sara tersebut, banyak teman-teman kristiani yang kemudian melarikan diri di rumah-rumah warga yang menurut mereka aman untuk melindungi diri, Ci-Ima salah satu warga Indonesiana juga bercerita bagaimana suasana malam itu ketika terjadi kekacauan yang mengakibatkan rumah-rumah umat kristiani dibakar di kelurahan Indonesiana, tidak ada yang tersisa.
Lanjutnya, Pendeta gereja Maranatha Arie G. Risakotta dibunuh di dekat Kantor Lurah Indonesiana akibat ada sepucuk surat yang sedikit berisi bahasa provokasi, isi surat intinya menjelaskan bahwa, akan nada penyerangan dari pihak umat kristiani untuk kami agama Islam, padahal isi surat itu tidak benar adanya, hingga terjadi kerusuhan dengan membakar rumah dan membunuh sekitar 9 orang tewas, mereka di kubur secara masal di belakang gejera Maranatha. Satu tahun kemudian mayat pendeta Arie G. Risakotta di gali kuburnya dan di bawah oleh kakanya dan dipulangkan ke Ambon dan di makamkan di sana.
Sejarah Singkat Nama Indonesiana
Nama Indonesiana sendiri merupakan kelurahan dengan beragam etnis dari berbagai daerah di Indonesia, lalu mereka menetap di Indonesiana, dimulai dari Sabang sampai Merauke, mengapa demikian, karena Tidore pernah menjadi Ibukota Irian Barat pertama, pada tahun 1960 hingga 1980-an dominasi masyarakat dari berbagai daerah menetap di sini dan bekerja, pada tahun itu, memang banyak rumah-rumah dinas yang dibangun sekitar Indonesiana.
Pada tahun sekitar 1960-an hingga 1970-an, diangkatlah Kepala Desa Pertama yang bernama Pu’Sung, beliau berasal dari Manado ( Sanger ), menurut salah satu tokoh masyarakat Indonesiana Hi Muhammad Idrus menyatakan yang memberi nama Indonesiana adalah Pu’Sung, dialah yang kemudian menjabat sebagai kepala desa pertama Indonesiana selama 6 tahun, alasannya karena di Indonesiana pada waktu itu banyak masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, jadi beliau kemudian memberikan nama Indonesiana, dengan menambahkan kata Na, dari Indonesia menjadi Indonesia-Na, setelah Pu’Sung di ganti oleh Anwar Togubu, kemudian Husein Toduho, Amir Toduho.
Lalu tahun 1981 ketika Soeharto menjabat sebagai Presiden RI, Indonesia mengalami reformasi birokrasi, diangkatlah beberapa staf desa menjadi pegawai kelurahan dan berganti menjadi kelurahan Indonesiana pada tahun 1981, dan lurah pertama Mahmud Hi. Ali, dengan dibawahi 6 staf kantoran, tahun 1987 pergantian Lurah Abdullah Totou, kemudian Ali Togubu, sampai dengan kemudian Ipi Ohorela, beberapa kali pergantian, hingga Arman Masri Tahun 2024 hingga sekarang.
Dalam keterangan masyarakat setempat, nama Indonesiana diberi oleh Soekarno, namun hal itu bisa terbantahkan karena beberapa saksi hidup yang masih memberikan keterangan yang berada, nama Indonesiana sudah ada lebih dulu sebelum kedatangan presiden pertama Indonesia Soekarno yang kedua kali ke Tidore. Nama Indonesiana hanya di dekralasikan oleh Soekarno, bukan yang memberi nama Indonesiana Itu sendiri.
Oleh : Teguh Tidore
Editor : Redaksi